menubar

MIS BAREGBEG "Membangun karakter bangsa yang inovatif, kreatif, dan kompetitif" - PPDB MIS BAREGBEG Tahun Pelajaran 2024/2025 Menerima Siswa/i Baru dan Pindahan - KLIK UNTUK MENDAFTAR
Tampilkan postingan dengan label Bab Haji. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Bab Haji. Tampilkan semua postingan

Selasa, 12 Juni 2018

Pak “Hajji” dan Bu “Hajjah”

Pak “Hajji” dan Bu “Hajjah”
Sepulang menunaikan ibadah haji seseorang mestinya mendapatkan lebih dari sekadar panggilan “Pak Haji” atau Bu Hajjah. Yang lebih utama, proses perjalanan tersebut harus menjadi madrasah atau pembelajaran dalam kehidupan sehari-hari sepulang dari Tanah Suci.
Hal tersebut disampaikan Pengasuh Pondok Pesantren Al Hikmah 1 Benda, Sirampog Brebes KH Labib Sodik Suhemi saat mengisi Silaturahmi Jamaah Haji Kabupaten Brebes, di Pendopo Bupati Brebes, Rabu (4/11).
Gelar haji yang diletakan di depan muka nama, sambungnya, sebetulnya adalah pengingat bahwa sang penyandang gelar seorang haji, sehingga bisa mengerem melakukan perbuatan maksiat. “Waduh, aku sudah haji. Masa mau mencuri? Aku sudah haji masa mau korupsi? Demikian mengiang terus dalam kondisi apapun dan di manapun selalu dikoreksi perbuatan yang menyimpang,” kata Kiai Labib.
(Sumber : http://www.nu.or.id/…/sebutan-haji-itu-pengingat-bukan-gela…)
Gelar “haji” tergolong cukup unik. Hanya di Indonesia saja kita menemukan fakta pemberian gelar semacam itu. Mengenai hal ini, arkeolog Islam Nusantara, Agus Sunyoto, menyatakan hal tersebut mulai muncul sejak tahun 1916.
"Kenapa dulu tidak ada Haji Diponegoro, Kiai Haji Mojo, padahal mereka sudah haji? Dulu kiai-kiai enggak ada gelar haji, wong itu ibadah kok. Sejarahnya (gelar “haji”, red) dimulai dari perlawanan umat Islam terhadap kolonial. Setiap ada pemberontakan selalu dipelopori guru thariqah, haji, ulama dari Pesantren, sudah, tiga itu yang jadi 'biang kerok' pemberontakan kompeni, sampai membuat kompeni kewalahan," beber Agus Sunyoto di Pesantren Ats-tsaqafah, Ciganjur, Jakarta. Jumat (24/9)
Penulis buku “Atlas Wali Songo” itu menambahkan, para kolonialis sampai kebingungan karena setiap ada warga pribumi pulang dari tanah suci Mekkah selalu terjadi pemberontakan. "Tidak ada pemberontakan yang tidak melibatkan haji, terutama kiai haji dari pesantren-pesantren itu," tegasnya.
Untuk memudahkan pengawasan, lanjut Wakil Ketua Pengurus Pusat Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) itu, pada tahun 1916 penjajah mengeluarkan keputusan Ordonansi Haji, yaitu setiap orang yang pulang dari haji wajib menggunakan gelar “haji”.
(Sumber : http://www.nu.or.id/…/asal-usul-gelar-ldquohajirdquo-di-ind…)
Lantas, bagaimana sikap fiqih terhadap sebutan tersebut?
Terkait hal tersebut sebenarnya di dalam Al-Qur`an Allah menyebut pelaku haji sebagai Al-Hajj, sebagaimana dalam firman-Nya :
{أَجَعَلْتُمْ سِقَايَةَ الْحَاجِّ وَعِمَارَةَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ كَمَنْ آمَنَ بِاللَّهِ} [التوبة: من الآية ١٩]
Artinya: “Apakah (orang-orang) yang memberi minuman Haji dan mengurus Masjidil haram kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah?”. (QS. Al-Taubah: 19).
Dan mengenai hal tersebut Dr. Abu Zaid, Bakr bin Abdillah mengatakan :
“Kalimat “Haji” pada ayat di atas maknanya adalah kelompok orang yang sedang melaksanakan amal haji. Sementara fenomena kata ini dijadikan sebagai gelar dalam Islam bagi orang yang telah melaksanakan ibadah haji, tidak pernah dikenal di masa generasi terbaik umat Islam”.
Selain hal tersebut, gelar haji itu masuk 'urf (tradisi di masyarakat) yang pernah disampaikan Al-Subki ketika membahas biografi Hassan bin Said al-Haji. Beliau mengatakan :
“Al-Haji ini merupakan Lughat 'Ajam (bahasa selain Arab), untuk mereka yang telah menunaikan ibadah haji. Mereka menyebut orang yang bernah berhaji ke Baitullah Al-Haram dengan Haji”.
Imam Al-Nawawi dalam kitabnya menjelaskan bahwa :
“Boleh menyebut orang yang pernah berangkat haji dengan gelar Haji, meskipun hajinya sudah bertahun-tahun, atau bahkan setelah dia wafat. Dan hal ini tidak makruh. Sementara yang disebutkan dalam riwayat Baihaqi dari Al-Qasim bin Abdurrahman, dari Ibnu Mas’ud, beliau mengatakan: “Janganlah kalian mengatakan ‘Saya Haji’ karena Haji adalah orang yang ihram.” Riwayat ini mauquf dan sanadnya terputus”.
Dengan demikian, menyebut Hajji dan Hajjah terhadap orang yang sudah menunaikan ibadah Haji itu boleh. Sedangkan penyebutan Hajji dan Hajjah terhadap orang yang belum atau tidak melakukan ibadah Haji, itu haram, karena demikian merupakan pembohongan status.
--------------------------------------------------------
معجم المناهي اللفظية ج ١ ص ٢١٩-٢٢٠ المكتبة الشاملة
قال الله تعالى: {أَجَعَلْتُمْ سِقَايَةَ الْحَاجِّ وَعِمَارَةَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ كَمَنْ آمَنَ بِاللَّهِ} [التوبة: من الآية١٩] وكلمة ((الحاج)) في الآية بمعنى جنسهم المتلبسين بأعمال الحج. وأما أن تكون لقباً إسلامياً لكل من حج، فلا يعرف ذلك في خير القرون. إهـ
طبقات الشافعية الكبرى ج ٤ ص ٢٩٩ المكتبة الشاملة
وَأما الحاجي فلغة الْعَجم فِي النِّسْبَة إِلَى من حج يَقُولُونَ للْحَاج إِلَى بَيت الله الْحَرَام حاجي. إهـ
المجموع شرح المهذب ج ٨ ص ٢٨١ المكتبة الشاملة
(فَرْعٌ) يَجُوزُ أَنْ يُقَالَ لِمَنْ حَجَّ حَاجٌّ بَعْدَ تَحَلُّلِهِ وَلَوْ بَعْدَ سِنِينَ وَبَعْدَ وَفَاتِهِ أَيْضًا وَلَا كَرَاهَةَ فِي ذَلِكَ (وَأَمَّا) مَا رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ (لَا يَقُولَنَّ أَحَدُكُمْ إنِّي صَرُورَةٌ فَإِنَّ الْمُسْلِمَ لَيْسَ بِصَرُورَةٍ وَلَا يَقُولَنَّ أَحَدُكُمْ إنِّي حَاجٌّ فَإِنَّ الْحَاجَّ هُوَ الْمُحْرِمُ) فَهُوَ مَوْقُوفٌ مُنْقَطِعٌ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ.
وَالْمَسْأَلَةُ تَتَخَرَّجُ عَلَى أَنَّ بَقَاءَ وَجْهِ الِاشْتِقَاقِ شرط لصدق المشتق منه ام لَا وَفِيهِ خِلَافٌ مَشْهُورٌ لِلْأُصُولِيِّينَ (الْأَصَحُّ) أَنَّهُ شَرْطٌ وَهُوَ مَذْهَبُ أَصْحَابِنَا فَلَا يُقَالُ لِمَنْ ضَرَبَ بَعْدَ انْقِضَاءِ الضَّرْبِ ضَارِبٌ وَلَا لِمَنْ حَجَّ بَعْدَ انْقِضَائِهِ حَاجٌّ إلَّا مَجَازًا (وَمِنْهُمْ) مَنْ يُقَالُ لَهُ ضَارِبٌ وَحَاجٌّ حَقِيقَةً وَهَذَا الْخِلَافُ فِي أَنَّهُ حَقِيقَةٌ أَمْ مَجَازٌ كَمَا ذَكَرْنَا (وَأَمَّا) جَوَازُ الْإِطْلَاقِ فَلَا خِلَافَ فِيهِ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ. إهـ
حاشية الشبراملسي على نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج ج ٣ ص ٢٤٢ المكتبة الشاملة
[فَرْعٌ اسْتِطْرَادِيٌّ] وَقَعَ السُّؤَالُ عَمَّا يَقَعُ كَثِيرًا فِي مُخَاطَبَاتِ النَّاسِ بَعْضِهِمْ لِبَعْضٍ مِنْ قَوْلِهِمْ لِمَنْ لَمْ يَحُجَّ يَا حَاجَّ فُلَانٍ تَعْظِيمًا لَهُ هَلْ هُوَ حَرَامٌ أَوْ لَا؟ وَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّ الظَّاهِرَ الْحُرْمَةُ لِأَنَّهُ كَذَبَ، إنَّ مَعْنَى يَا حَاجُّ: يَامَنَ أَتَى بِالنُّسُكِ عَلَى الْوَجْهِ الْمَخْصُوصِ. نَعَمْ إنْ أَرَادَ بِيَا حَاجُّ الْمَعْنَى اللُّغَوِيَّ وَقَصَدَ بِهِ مَعْنًى صَحِيحًا، كَأَنْ أَرَادَ بِيَا حَاجُّ يَا قَاصِدَ التَّوَجُّهِ إلَى كَذَا كَالْجَمَاعَةِ أَوْ غَيْرِهَا فَلَا حُرْمَةَ. إهـ
فتاوى الشبكة الإسلامية ج ٩ ص ٨٤٤ المكتبة الشاملة
فتلقيب الإنسان بما يحب مستحب شرعاً، أما بما يكره فمعصية، قال النووي رحمه الله تعالى في المجموع: اتفق العلماء على تحريم تلقيب الإنسان بما يكره سواء كان صفة له أو لأبيه أو لأمه، واتفقوا على جواز ذكره بذلك على جهة التعريف لمن لا يعرفه إلا بذلك، واتفقوا على استحباب اللقب الذي يحبه صاحبه، فمن ذلك أبو بكر الصديق اسمه عبد الله بن عثمان ولقبه عتيق، ومن ذلك أبو تراب لقب لعلي بن أبي طالب. انتهى.
ومن هذا يتبين جواز تلقيب من حج بالحاج إذا لم يخش منه عجب أو رياء. والله أعلم. إهـ

 https://web.facebook.com/groups/MTTM1/permalink/2054488434764706/

Kamis, 22 Maret 2018

Pembookingan Jatah Haji Oleh Sebagian KBIH

Pembookingan Jatah Haji Oleh Sebagian KBIH

 http://www.solusinahdliyin.net/2018/01/13/pembookingan-jatah-haji-oleh-sebagian-kbih/

Semakin banyak peminat haji sehingga pendaftaran lebih cepat ditutup karena pencapaian kuota haji yang telah terpenuhi. Hal ini menggugah sebagian Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) untuk membuka peluang berangkat bagi peminat haji yang tak mendapat nomor berangkat tahun ini. Kelompok tersebut memboking pendaftaran lebih awal di Bank dengan jumlah yang agak besar dengan nama-nama yang fiktif. Apabila ada orang yang sangat butuh berangkat pada tahun ini namun pendaftaran resmi telah ditutup, maka pihak kelompok itu menawarkan untuk bisa memberangkatkannya tahun ini dengan harus menambah biaya, misalnya tiga juta, yang tentunya dengan resiko nama tidak sesuai dengan nama asli dirinya.
Pertanyaan

  1. Bolehkah pembokingan pendaftaran ONH seperti diatas ?
  2. Masih wajibkah –jika peminat itu belum haji– untuk mendaftar melalui kelompok itu berhubung pendaftaran resmi telah ditutup dengan konsekwensi membengkaknya biaya itu ?
HASIL BAHTSUL MASAIL di Masjid Jamik Nurus Salam; Rubaru 08 Mei 2005
Jawaban
  1. Pembokingan itu tidak boleh / haram
  2. Peminat yang belum haji yang tidak mendapat nomor berangkat pada pendaftaran resmi, tidak wajib mendaftar lewat kelompok itu walaupun dia mampu.
Referensi
– Syarah as Sullam; 83 dan 85. – al Muhadzdzab; I/196
المراجـع
شرح السلم؛ 83
وتحجير المباح الذي يستوي الناس فيه في جواز أخذهم مايشاءون منه، وذلك بأن يمنع الناس منه أو يجعل عليه علامة للحمى كالمرعى إهـ
المهذب؛ ج 1/ ص 196- 197
وإن كان الطريق آمنا إلا أنه يحتاج فيه إلى خفارة لم يلزمه، لأن مايؤخذ في الخفارة بمنـزلة ما زاد على ثمن المثل وثمن المثل في الزاد والراحلة فلايلزمه ولأنه رشوة على واجب فلايلزمه إهـ

Senin, 12 Maret 2018

Kesulitan Menghindari Persentuhan Kulit



Kesulitan Menghindari Persentuhan Kulit
Saat Thawaf, untuk terjaga agar tidak bersentuhan kulit dengan lain jenis bukan mahram sangat sulit karena saking banyaknya orang. Bagaimanakah solusinya ?
Jawaban : Solusinya adalah
a.       Mengikuti pendapat lemah dalam madzhab Syafi’i, yaitu pendapat imam al-Furoni dan imam Haromain yang menyatakan bahwa, tidak dihukumi batal wudlunya seseorang ketika bersentuhan dengan lawan jenis bukan mahram tanpa adanya unsur kesengajaan, atau
b.      Mengikuti madzhab Hanafiyah yang berpendapat bahwa yang membatalkan wudlu adalah bersentuhan yang disertai eraksi (tegangnya kemaluan) sekaligus berwudlu dengan tatacara madzhab Hanafi. Apabila cara berwudlu sesuai madzhab Hanafi secara lengkap sulit dilaksanakan, maka diperbolehkan mengikuti pendapat yang memperbolehkan talfiq (menggabungkan pendapat madzhab Syafi’i dan Hanafi). Caranya dengan tetap berwudlu mengikuti madzhab Syafi’i, namun dalam persoalan hal-hal yang membatalkan wudlu mengikuti madzhab Hanafi.
Referensi
@  Syarh al-Bahjah al-Wardiyah juz 2 hal 44
@  Roddu al-Mukhtar juz 1 hal 405
@  Fatawa al-Hindiyah juz 1 hal 13
@  Tanwiru al-Qulub hal 397
&   شرح البهجة الوردية (2/ ص 44) مكتبة الشاملة
( قَوْلُهُ : وَسَوَاءٌ إلَخْ ) وَلَنَا وَجْهٌ أَنَّهُ لَا يُنْتَقَضُ وُضُوءُ الْمَلْمُوسِ ، وَوَجْهٌ أَنَّ لَمْسَ الْعُضْوِ الْأَشَلِّ أَوْ الزَّائِدِ لَا يَنْقُضُ ، وَوَجْهٌ لِابْنِ سُرَيْجٍ أَنَّهُ يُعْتَبَرُ الشَّهْوَةُ فِي الِانْتِقَاضِ قَالَ الْحَنَّاطِيُّ وَحُكِيَ هَذَا عَنْ نَصِّ الشَّافِعِيِّ ، وَوَجْهٌ حَكَاهُ الْفُورَانِيُّ وَإِمَامُ الْحَرَمَيْنِ وَآخَرُونَ أَنَّ اللَّمْسَ لَا يَنْقُضُ إلَّا إذَا وَقَعَ قَصْدًا ، وَأَمَّا تَخْصِيصُ النَّقْضِ بِأَعْضَاءِ الْوُضُوءِ فَلَيْسَ وَجْهًا لَنَا بَلْ مَذْهَبُ الْأَوْزَاعِيِّ وَحُكِيَ عَنْهُ أَنَّهُ لَا يَنْقُضُ إلَّا اللَّمْسُ بِالْيَدِ كَذَا فِي الْمَجْمُوعِ
&   رد المختار (1/ ص 405) مكتبة الشاملة
( وَمُبَاشَرَةٌ فَاحِشَةٌ ) بِتَمَاسِّ الْفَرْجَيْنِ وَلَوْ بَيْنَ الْمَرْأَتَيْنِ وَالرَّجُلَيْنِ مَعَ الِانْتِشَارِ ( لِلْجَانِبَيْنِ ) الْمُبَاشِرُ وَالْمُبَاشَرُ ، وَلَوْ بِلَا بَلَلٍ عَلَى الْمُعْتَمَدِ( قَوْلُهُ : مَعَ الِانْتِشَارِ ) هَذَا فِي حَقِّ نَقْضِ وُضُوئِهِ لَا وُضُوئِهَا ، فَإِنَّهُ لَا يُشْتَرَطُ فِي نَقْضِهِ انْتِشَارُ آلَةِ الرَّجُلِ قُنْيَةٌ
&   الفتاوى الهندية 1 \ ص13 دار الفكر
( وَمِنْهَا الْمُبَاشَرَةُ الْفَاحِشَةُ ) إذَا بَاشَرَ امْرَأَتَهُ مُبَاشَرَةً فَاحِشَةً بِتَجَرُّدٍ وَانْتِشَارٍ وَمُلاقَاةِ الْفَرْجِ بِالْفَرْجِ فَفِيهِ الْوُضُوءُ فِي قَوْلِ أَبِي حَنِيفَةَ وَأَبِي يُوسُفَ - رَحِمَهُمَا اللَّهُ تَعَالَى - اسْتِحْسَانًا وَقَالَ مُحَمَّدٌ رحمه الله تعالى : لا وُضُوءَ عَلَيْهِ وَهُوَ الْقِيَاسُ . كَذَا فِي الْمُحِيطِ وَفِي النِّصَابِ هُوَ الصَّحِيحُ وَفِي الْيَنَابِيعِ وَعَلَيْهِ الْفَتْوَى . كَذَا فِي التَّتَارْخَانِيَّة فِي الْمُلامَسَةِ الْفَاحِشَةِ لا يُعْتَبَرُ انْتِشَارُ آلَةِ الرَّجُلِ فِي انْتِقَاضِ طَهَارَةِ الْمَرْأَةِ . كَذَا فِي الْقُنْيَةِ . مَسُّ الرَّجُلِ الْمَرْأَةَ وَالْمَرْأَةِ الرَّجُلَ لا يَنْقُضُ الْوُضُوءَ . كَذَا فِي الْمُحِيطِ
&   تنوير القلوب ص 397 دار إحياء العربية
الخامس عَدَمُ التَّلْفِيقِ بِأنْ يُلَفِّقَ فِي قَضِيَّةٍ وَاحِدَةٍ إبْتِدَاءً وَلاَ دَوَامًا بَيْنَ قَوْلَيْنِ يَتَوَلَّدُ مَنْهُمَا حَقِيْقَةً لاَ يَقُوْلُ بِهَا صَاحِبُهُمَا وَاشْتِرَاطُ عَدَمِ التَّلْفِيْقِ هُوَ الْمُعْتَمَدُ عِنْدَنَا وَعِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ وَاَمَّا عِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ فَيَجُوْزُ التَّلْفِيْقُ فِي الْعِبَادَاتِ فَقَطْ

Jumat, 23 Februari 2018

Memindah tempat Sa’ie

Memindah tempat Sa’ie
Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa sa'i dalam ibadah haji menurut mayoritas ulama termasuk dalam rukun haji, sehingga konsekuensinya jika seseorang mengerjakan ibadah haji tanpa melaksanakan sa'i maka hajinya tidak sah. Akan tetapi saat ini tanpa alasan yang jelas pemerintah Saudi Arabia telah memindah tempat sa'i di luar sofa-marwa.
Pertanyaan:
  1. Bagaimana hukum memindah tempat sa'i sebagaimana dalam deskripsi di atas?
  2. Sahkah ibadah haji yang dilaksanakan dengan mengerjakan sa'i di luar sofa-marwa?
PP. Assalafi Al-Fithrah Surabaya
Jawaban:
  1. Musyawirin belum menemukan alas an yang dibenarkan untuk perluasan tempat sa’I, yang berdampak pada keabsahan ibadah sa’I ditempat yang baru.

  1. Hukumnya tidak sah. Disaraankan bagi jamaah haji atau umroh untuk bertaqlid kepada madzhab Hanafi yang berpendapat hukum sa’I adalah wajib bukan rukun dan bagi yang meninggalkannya hokum hajinya tetap sah namun harus membayar dam yaitu menyembelih satu ekor kambing, atau bertaqlid kepada salah satu pendapat dalam madzhab Hanbali yang menyatakan hokum sa’I adalah sunnah dan tidak wajib membeyar dam bagi yang meninggalkannya.
&حاشية ابن قاسم ج4 ص 99
( فَرْعٌ ) قَالَ فِي الْعُبَابِ وَأَنْ أَيْ وَيَجِبَ أَنْ يَسْعَى فِي بَطْنِ الْوَادِي وَلَوْ الْتَوَى فِيهِ يَسِيرًا لَمْ يَضُرَّ . ا هـ . قَالَ فِي شَرْحِهِ بِخِلَافِهِ كَثِيرًا بِحَيْثُ يَخْرُجُ عَنْهُ وَضُبِطَتْ ذَلِكَ فِي الْحَاشِيَةِ بِأَنْ يَخْرُجَ عَنْ سَمْتِ الْعَقْدِ الْمُشْرِفِ عَلَى الْمَرْوَةِ إذْ هُوَ مُقَارِبٌ لِعِرْضِ الْمَسْعَى مِمَّا بَيْنَ الْمِيلَيْنِ الَّذِي ذَكَرَهُ الْفَارِسِيُّ أَنَّهُ عَرْضُهُ ثُمَّ مَا ذَكَرَهُ هُوَ مَا فِي الْمَجْمُوعِ حَيْثُ قَالَ : قَالَ : الشَّافِعِيُّ وَالْأَصْحَابُ لَا يَجُوزُ السَّعْيُ فِي غَيْرِ مَوْضِعِ السَّعْيِ فَلَوْ مَرَّ وَرَاءَ مَوْضِعِهِ فِي زُقَاقِ الْعَطَّارِينَ أَوْ غَيْرِهِ لَمْ يَصِحَّ سَعْيُهُ ; لِأَنَّ السَّعْيَ يَخْتَصُّ بِهِ فَلَا يَجُوزُ فِعْلُهُ فِي غَيْرِهِ كَالطَّوَافِ إلَى أَنْ قَالَ وَلِذَا قَالَ الدَّارِمِيُّ إنْ الْتَوَى فِي سَعْيِهِ يَسِيرًا جَازَ , وَإِنْ دَخَلَ الْمَسْجِدَ أَوْ زُقَاقَ الْعَطَّارِينَ فَلَا . ا هـ . وَبِهِ يُعْلَمُ أَنَّ قَوْلَ الْعُبَابِ وَلَوْ الْتَوَى فِيهِ يَسِيرًا الْمُرَادُ بِالْيَسِيرِ فِيهِ مَا لَا يَخْرُجُ عَنْهُ فَتَأَمَّلْهُ
&.أخبار مكة : أبو عبدالله محمد بن إسحاق بن العباس الفاكهي.   ج 2 ص 243
وذرع ما بين الصفا والمروة سبعمائة ذراع وستة وستون ذراعا واثنتا عشرة إصبعا   وذرع ما بين العلم الذي على باب المسجد إلى العلم الذي بحذائه على باب دار العباس بن عبد المطلب رضي الله عنهما وبينهما   عرض المسعى   خمسة وثلاثون ذراعا واثنتا عشرة اصبعا   ومن العلم الذي على باب دار العباس رضي الله عنه إلى العلم الذي عند دار ابن عباد بحذاء العلم الذي في حد المنارة وبينهما الوادي مائة ذراع وواحد وعشرون ذراعاانتهى.
& بحر الرائق ج 2 ص 359
( مُهِمَّةٌ ) ذَكَرَ الشَّيْخُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ الْمُرْشِدِيُّ فِي شَرْحِهِ عَلَى الْكَنْزِ أَنَّ مَسَافَةَ مَا بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ سَبْعُمِائَةٍ وَخَمْسُونَ ذِرَاعًا فَعَلَيْهِ فَعِدَّةُ السَّعْيِ خَمْسَةُ آلَافٍ وَمِائَتَانِ وَخَمْسُونَ ذِرَاعًا ا هـ . وَفِي الشُّمُنِّيِّ سَبْعُمِائَةٍ وَسِتَّةٌ وَسِتُّونَ ذِرَاعًا , وَأَمَّا عَرْضُ الْمَسْعَى فَحَكَى الْعَلَّامَةُ الشَّيْخُ قُطْبُ الدِّينِ الْحَنَفِيُّ فِي تَارِيخِهِ نَقْلًا عَنْ تَارِيخِ الْفَاكِهِيِّ أَنَّهُ خَمْسَةٌ وَثَلَاثُونَ ذِرَاعًا , ثُمَّ قَالَ وَهَاهُنَا إشْكَالٌ عَظِيمٌ مَا رَأَيْت أَحَدًا تَعَرَّضَ لَهُ وَهُوَ أَنَّ السَّعْيَ بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ مِنْ الْأُمُورِ التَّعَبُّدِيَّةِ فِي ذَلِكَ الْمَكَانِ الْمَخْصُوصِ وَعَلَى مَا ذَكَرَ الثِّقَاتُ أُدْخِلَ ذَلِكَ الْمَسْعَى فِي الْحَرَمِ الشَّرِيفِ وَحُوِّلَ ذَلِكَ الْمَسْعَى إلَى دَارِ ابْنِ عَبَّادٍ كَمَا تَقَدَّمَ , وَالْمَكَانُ الَّذِي يُسْعَى فِيهِ الْآنَ لَا يَتَحَقَّقُ أَنَّهُ مِنْ عَرْضِ الْمَسْعَى الَّذِي سَعَى فِيهِ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَوْ غَيْرُهُ فَكَيْفَ يَصِحُّ السَّعْيُ فِيهِ وَقَدْ حُوِّلَ عَنْ مَحِلِّهِ وَلَعَلَّ الْجَوَابَ أَنَّ الْمَسْعَى كَانَ عَرِيضًا وَبُنِيَتْ تِلْكَ الدُّورُ بَعْدَ ذَلِكَ فِي عَرْضِ الْمَسْعَى الْقَدِيمِ فَهَدَمَهَا الْمَهْدِيُّ , وَأَدْخَلَ بَعْضَهَا فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَتَرَكَ الْبَعْضَ , وَلَمْ يُحَوَّلْ تَحْوِيلًا كُلِّيًّا وَإِلَّا لَأَنْكَرَهُ عُلَمَاءُ الدِّينِ مِنْ الْأَئِمَّةِ الْمُجْتَهِدِينَ ا هـ . مُلَخَّصًا . مِنْ الْمَدَنِيِّ .
 &فتاوى الرملي ج2 ص 86
( سُئِلَ ) هَلْ ضُبِطَ عَرْضُ الْمَسْعَى ؟ ( فَأَجَابَ ) لَمْ أَرَ مَنْ ضَبَطَهُ وَسُكُوتُهُمْ عَنْهُ لِعَدَمِ الِاحْتِيَاجِ إلَيْهِ فَإِنَّ الْوَاجِبَ اسْتِيعَابُ الْمَسَافَةِ الَّتِي بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ كُلَّ مَرَّةٍ بِأَنْ يُلْصِقَ عَقِبَهُ بِمَا يَذْهَبُ مِنْهُ وَرُءُوسَ أَصَابِعِ رِجْلَيْهِ بِمَا يَذْهَبُ إلَيْهِ وَالرَّاكِبُ يُلْصِقُ حَافِرَ دَابَّتِهِ.
 &نهاية المحتاج ج 3 ص 291
( وَأَنْ يَسْعَى سَبْعًا ) لِلِاتِّبَاعِ ( ذَهَابُهُ مِنْ الصَّفَا إلَى الْمَرْوَةِ مَرَّةٌ ) بِالرَّفْعِ خَبَرُ ذَهَابِهِ ( وَعَوْدُهُ مِنْهَا إلَيْهِ أُخْرَى ) وَلَوْ مَنْكُوسًا أَوْ كَانَ يَمْشِي الْقَهْقَرَى فَمَا يَظْهَرُ إذْ الْقَصْدُ قَطْعُ الْمَسَافَةِ , وَيُشْتَرَطُ قَطْعُ الْمَسَافَةِ بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ كُلَّ مَرَّةٍ وَلَا بُدَّ أَنْ يَكُونَ قَطْعُ مَا بَيْنَهُمَا مِنْ بَطْنِ الْوَادِي وَهُوَ الْمَسْعَى الْمَعْرُوفُ الْآنَ , وَإِنْ كَانَ فِي كَلَامِ الْأَزْرَقِيِّ مَا يُوهِمُ خِلَافَهُ فَقَدْ أَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ وَغَيْرُهُمْ مِنْ زَمَنِ الْأَزْرَقِيِّ إلَى الْآنَ عَلَى ذَلِكَ , وَلَمْ أَرَ فِي كَلَامِهِمْ ضَبْطُ عَرْضِ الْمَسْعَى وَسُكُوتُهُمْ عَنْهُ لِعَدَمِ الِاحْتِيَاجِ إلَيْهِ , فَإِنَّ الْوَاجِبَ اسْتِيعَابُ الْمَسَافَةِ الَّتِي بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ كُلَّ مَرَّةٍ , وَلَوْ الْتَوَى فِي سَعْيِهِ عَنْ مَحَلِّ السَّعْيِ يَسِيرًا لَمْ يَضُرَّ كَمَا نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ رضي الله عنه , وَأَنْ يُلْصِقَ عَقِبَهُ بِأَصْلِ مَا يَذْهَبُ مِنْهُ وَرُءُوسَ أَصَابِعِ رِجْلَيْهِ بِمَا يَذْهَبُ إلَيْهِ مِنْهُمَا وَإِنْ كَانَ رَاكِبًا سَيَّرَ دَابَّتَهُ حَتَّى يُلْصِقَ حَافِرَهَا بِذَلِكَ وَبَعْضُ دَرَجِ الصَّفَا مُحْدَثٌ فَلْيَحْذَرْ مِنْ تَخَلُّفِهَا وَرَاءَهُ , وَيُسَنُّ فِيهِ الطَّهَارَةُ وَالسِّتْرُ وَالْمَشْيُ وَالْمُوَالَاةُ فِيهِ وَبَيْنَهُ وَبَيْنَ الطَّوَافِ وَالرَّمْيِ , وَالذِّكْرُ الْمَأْثُورِ كَمَا يَأْتِي
 &عناية شرح الهداية ج 3 ص 59
( وَمَنْ تَرَكَ السَّعْيَ بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ فَعَلَيْهِ دَمٌ وَحَجُّهُ تَامٌّ ) لِأَنَّ السَّعْيَ مِنْ الْوَاجِبَاتِ عِنْدَنَا فَيَلْزَمُ بِتَرْكِهِ الدَّمُ دُونَ الْفَسَادِ .
&.المغني لابن قدامة الحنبلي ج 1 ص 267
فَصْلٌ : وَاخْتَلَفَتْ الرِّوَايَةُ فِي السَّعْيِ , فَرُوِيَ عَنْ أَحْمَدَ أَنَّهُ رُكْنٌ , لَا يَتِمُّ الْحَجُّ إلَّا بِهِ . وَهُوَ قَوْلُ عَائِشَةَ , وَعُرْوَةَ , وَمَالِكٍ , وَالشَّافِعِيِّ ; لِمَا رُوِيَ عَنْ عَائِشَةَ , قَالَتْ { : طَافَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَطَافَ الْمُسْلِمُونَ - يَعْنِي بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ - فَكَانَتْ سُنَّةً } , فَلَعَمْرِي مَا أَتَمَّ اللَّهُ حَجَّ مَنْ لَمْ يَطُفْ بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ . رَوَاهُ مُسْلِمٌ . وَعَنْ { حَبِيبَةَ بِنْتِ أَبِي تُجْرَاةَ , إحْدَى نِسَاءِ بَنِي عَبْدِ الدَّارِ , قَالَتْ : دَخَلْت مَعَ نِسْوَةٍ مِنْ قُرَيْشٍ دَارَ آلِ أَبِي حُسَيْنٍ , نَنْظُرُ إلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ يَسْعَى بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ , وَإِنَّ مِئْزَرَهُ لَيَدُورُ فِي وَسَطِهِ مِنْ شِدَّةِ سَعْيِهِ , حَتَّى إنِّي لَأَقُولُ : إنِّي لَأَرَى رُكْبَتَيْهِ . وَسَمِعْته يَقُولُ : اسْعَوْا , فَإِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَيْكُمْ السَّعْيَ } . رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ . وَلِأَنَّهُ نُسُكٌ فِي الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ , فَكَانَ رُكْنًا فِيهِمَا , كَالطَّوَافِ بِالْبَيْتِ . وَرُوِيَ عَنْ أَحْمَدَ أَنَّهُ سُنَّةٌ , لَا يَجِبُ بِتَرْكِهِ دَمٌ . رُوِيَ ذَلِكَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ , وَأَنَسٍ , وَابْنِ الزُّبَيْرِ , وَابْنِ سِيرِينَ ; لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى : { فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا } . وَنَفْيُ الْحَرَجِ عَنْ فَاعِلِهِ دَلِيلٌ عَلَى عَدَمِ وُجُوبِهِ , فَإِنَّ هَذَا رُتْبَةُ الْمُبَاحِ , وَإِنَّمَا ثَبَتَ سُنِّيَّتُهُ بِقَوْلِهِ : مِنْ شَعَائِر اللَّهِ . وَرُوِيَ أَنَّ فِي مُصْحَفِ أُبَيٍّ وَابْنِ مَسْعُودٍ : ( فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ لَا يَطَّوَّفَ بِهِمَا ) . وَهَذَا إنْ لَمْ يَكُنْ قُرْآنًا فَلَا يَنْحَطُّ عَنْ رُتْبَةِ الْخَبَرِ ; لِأَنَّهُمَا يَرْوِيَانِهِ عَنْ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَلِأَنَّهُ نُسُكٌ ذُو عَدَدٍ لَا يَتَعَلَّقُ بِالْبَيْتِ , فَلَمْ يَكُنْ رُكْنًا كَالرَّمْيِ . وَقَالَ الْقَاضِي : هُوَ وَاجِبٌ . وَلَيْسَ بِرُكْنٍ , إذَا تَرَكَهُ وَجَبَ عَلَيْهِ دَمٌ . وَهُوَ مَذْهَبُ الْحَسَنِ , وَأَبِي حَنِيفَةَ , وَالثَّوْرِيِّ . وَهُوَ أَوْلَى ; لِأَنَّ دَلِيلَ مَنْ أَوْجَبَهُ دَلَّ عَلَى مُطْلَقِ الْوُجُوبِ , لَا عَلَى كَوْنِهِ لَا يَتِمُّ الْحَجُّ إلَّا بِهِ . وَقَوْلُ عَائِشَةَ فِي ذَلِكَ مُعَارَضٌ بِقَوْلِ مَنْ خَالَفَهَا مِنْ الصَّحَابَةِ . وَحَدِيثُ بِنْتِ أَبِي تُجْرَاةَ , قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ : يَرْوِيهِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُؤَمِّلِ , وَقَدْ تَكَلَّمُوا فِي حَدِيثِهِ . ثُمَّ إنَّهُ يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ مَكْتُوبٌ , وَهُوَ الْوَاجِبُ . وَأَمَّا الْآيَةُ فَإِنَّهَا نَزَلَتْ لَمَّا تَحَرَّجَ نَاسٌ مِنْ السَّعْيِ فِي الْإِسْلَامِ , لِمَا كَانُوا يَطُوفُونَ بَيْنَهُمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ , لِأَجْلِ صَنَمَيْنِ كَانَا عَلَى الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ . كَذَلِكَ قَالَتْ عَائِشَةُ

الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على سيدنا محمد وعلى اله وصحبه أجمعين. وبعد فهذا بحث مستعجل عن حكم السعي فى الوقت الحاضر فنقول:
1. فى كتاب نسك الونائي الشافعي الثالث من شروط السعي أن يقطع بمروره جميع المسعى من بطن الوادي لكن لو التوى فى سعيه عن محل السعي يسيرا بحيث لم يخرج عن سمت العقد المشرف على المروة لم يضر وذكر الفاسي أن عرض المسعى ما بين الميلين فإن دخل المسجد أو مر عن العطارين فلا يصح اهـ
2. وفى حاشية عبد الحميد على التحفة لابن حجر مانصه: ولو التوى عن محل السعى يسيرا لم يضر. وفى تاريخ القطب الحنفى نقلا عن تاريخ الفاكهي: أن عرض المسعى خمسة وثلاثون ذراعا. وفى العباب: لو التوى يسيرا لم يضر. قال شارح العباب: بخلافه كثيرا بحيث يخرج عن سمت العقد المشرف على المروة إذ هو مقارب لعرض المسعى مما بين الميلين الذي ذكر الفاسي انه عرضه. اهـ
3. وفى البجيرمي : قدر المسافة بين الصفا والمروة بذراع الآدمي سبعمائة وسبعين وسبعون ذراعا وكان عرض المسعى خمسة والثلاثين ذراعا فأدخلوا بعضه فى المسجد. اهـ
يستفاد من هذه النصوص أن عرض المسعى:
1. ما سامت العقد المشرف على المروة 20 هو ما بين الميلين خمسة وثلاثون ذراعا وقد أدخل بعضه فى المسجد.
ومعرفة موضع العقد المشرف والميلين يرجع فيه إلى أهل الخبره فى ذلك الموضع, والخروج عن عرض المسعى لا يصح بأن دخل المسجد أومر عند العطارين.
وقول صاحب العباب:"لو التوى يسيرا لم يضر" قد يعارض تحديد عرض المسعى إلا أن يجاب بأن المراد الا لتواء اليسير الذى لا يخرج عن العقد المشرف أو ما بين الميلين. وقال السيد عمر البصري: الظاهر أن التقدير لعرضه بخمسة وثلاثين أو نحوها على التقريب إذ لانص فيه يحفظ عن السنة فلا يضر الا لتواء اليسير لذلك بخلاف الكثير فانه يخرج عن تقدير العرض ولو على التقريب.اهـ
وذكر فى بعض التواريخ وذلك فى تاريخ الغازي ص388 نقلا عن الأزرقى ماحاصله: انه فى عهد الخليفه المهدى ثم الهادى العباسيين سنة160 هـ جددت عمارة المسجد الحرام وأدخل فى الحرم المسعى, وحول المسعى إلى الموضع المعروف اليوم.اهـ
وقال العلامه القطبي فى الا علام: أن السعي فيه صحيح وأن المسعى فى عهد رسول الله صلى الله عليه وسلام كان عريضا فأدخل بعضه فى المسجد وترك بعضة للسعي ولم يحول تحويلا كليا وإلا لأنكره الأئمة المجتهدون.اهـ
والله أعلم بصحة ما فى هذه التواريخ فيحتاج إلى التأكدمن ذلك فى بقيه كتب التاريخ والكتب المتعلقة بالحرم اهـ
فالحاصل مماسبق, يستحسن احتياطا السعي فى المسعى الجديد ولا يعتبر تلبسا بعبادة فاسدة لما علمت من احتمال الصحة وأن الزياده داخلة فى المسعى القديم أوأنها من الا لتواء اليسير الذي لا يضر. ويطلب مع هذا تقليد من يقول من الأئمة بأنه سنة أو واجب مع اجتماع شروط التقليد. والذى يقول بالوجوب هم السادة الأحناف يقولون فى تركه هدي بين صيام أو صدقه أو نسك  تخييرا, وذكر فى بعض الكتب أنه عند العذر يسقط الهدي فليراجع ذلك ويتأكد منهم. والله أعلم. 
فتوى الحبيب أبو بكر بلفقيه مدرس الفقه في رباط تريم خضر موت..
وصحح كثير من الحنابلة أنه (السعي) ركن, وهو رواية عن أحمد, وبها قطع بعضهم, وعنه رواية أنه واجب يجبر بدم كدم التمتع واختارها القاضي. زقال ابن قدامة: إنها الأولى. وعنه رواية أخرى أنه سنة. هداية السالك ج2 ص 885

ذَهَبَ الْمَالِكِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ فِي الْمُعْتَمَدِ عِنْدَهُمْ إلَى أَنَّ السَّعْيَ رُكْنٌ مِنْ أَرْكَانِ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ , لَا يَصِحَّانِ بِدُونِهِ . وَهُوَ قَوْلُ عَائِشَةَ وَعُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ . وَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ فِي رِوَايَةٍ إلَى أَنَّ السَّعْيَ وَاجِبٌ فِي الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ , وَلَيْسَ بِرُكْنٍ فِيهِمَا , فَمَنْ تَرَكَهُ لِغَيْرِ عُذْرٍ وَجَبَ عَلَيْهِ الدَّمُ , وَإِنْ تَرَكَهُ لِعُذْرٍ فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ , وَهُوَ مَرْوِيٌّ عَنْ الْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ وَسُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ . وَرُوِيَ عَنْ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ أَنَّهُ سُنَّةٌ لَا يَجِبُ بِتَرْكِهِ دَمٌ , وَرُوِيَ ذَلِكَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ وَأَنَسٍ , وَابْنِ الزُّبَيْرِ وَابْنِ سِيرِينَ .  وَسَبَبُ الْخِلَافِ أَنَّ الْآيَةَ الْكَرِيمَة : { إنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ . . . } لَمْ تُصَرِّحْ بِحُكْمِ السَّعْيِ , فَآلَ الْحُكْمُ إلَى الِاسْتِدْلَالِ بِالسُّنَّةِ وَبِحَدِيثِ : { اسْعَوْا فَإِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَيْكُمْ السَّعْيَ } . وَفِي الصَّحِيحَيْنِ عَنْ { أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ رضي الله عنه قَالَ : قَدِمْت عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ بِالْبَطْحَاءِ فَقَالَ : بِمَا أَهْلَلْت ؟ قُلْت : أَهْلَلْت بِإِهْلَالِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم . قَالَ : هَلْ سُقْت مِنْ هَدْيٍ ؟ قُلْت : لَا . قَالَ : فَطُفْ بِالْبَيْتِ وَبِالصَّفَا وَالْمَرْوَةِ , ثُمَّ حِلَّ } . فَاسْتَدَلَّ بِذَلِكَ الْمَالِكِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ وَمَنْ وَافَقَهُمْ عَلَى الْفَرْضِيَّةِ , لِأَنَّ " كَتَبَ " بِمَعْنَى فَرَضَ ; وَلِأَنَّهُ صلى الله عليه وسلم أَمَرَ أَبَا مُوسَى بِالسَّعْيِ وَرَتَّبَ عَلَيْهِ الْحِلَّ فَيَكُونُ فَرْضًا . وَاسْتَدَلَّ بِهِ الْحَنَفِيَّةُ عَلَى الْوُجُوبِ ; لِأَنَّهُ كَمَا قَالَ الْكَمَالُ بْنُ الْهُمَامِ : " مِثْلُهُ لَا يَزِيدُ عَلَى إفَادَةِ الْوُجُوبِ , وَقَدْ قُلْنَا بِهِ . أَمَّا الرُّكْنُ فَإِنَّمَا يَثْبُتُ عِنْدَنَا بِدَلِيلٍ مَقْطُوعٍ بِهِ . فَإِثْبَاتُهُ بِهَذَا الْحَدِيثِ إثْبَاتٌ بِغَيْرِ دَلِيلٍ " . يَعْنِي بِغَيْرِ دَلِيلٍ يَصْلُحُ لِإِثْبَاتِ الرُّكْنِيَّةِ . وَاسْتَدَلَّ لِلْقَوْلِ بِالسُّنِّيَّةِ بِقَوْلِهِ تَعَالَى : { فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا } . وَنَفْيُ الْحَرَجِ عَنْ فَاعِلِهِ دَلِيلٌ عَلَى عَدَمِ وُجُوبِهِ , فَإِنَّ هَذَا رُتْبَةُ الْمُبَاحِ , وَإِنَّمَا تَثْبُتُ سُنِّيَّتُهُ بِقَوْلِهِ تَعَالَى : { مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ } .
&الموسوعة الفقهية ج 25 ص 12-13
أَرْكَانُ الْحَجِّ الْوُقُوفُ بِعَرَفَةَ وَطَوَافُ الزِّيَارَةِ . وَلَوْ تَرَكَهُ رَجَعَ مُعْتَمِرًا , نَقَلَهُ جَمَاعَةٌ , وَنَقَلَ يَعْقُوبُ فِيمَنْ طَافَ فِي الْحِجْرِ وَرَجَعَ بَغْدَادَ يَرْجِعُ ; لِأَنَّهُ عَلَى بَقِيَّةِ إحْرَامِهِ , فَإِنْ وَطِئَ أَحْرَمَ مِنْ التَّنْعِيمِ , عَلَى حَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ , وَعَلَيْهِ دَمٌ , وَنَقَلَ غَيْرُهُ مَعْنَاهُ . وَكَذَا السَّعْيُ , وَعَنْهُ : يَجْبُرُهُ دَمٌ , وَعَنْهُ : سُنَّةٌ وَأَرْكَانُ الْعُمْرَةِ : الطَّوَافُ . وَفِي إحْرَامِهَا , وَإِحْرَامُهَا مِنْ مِيقَاتِهَا وَالسَّعْيُ وَالْحَلْقُ أَوْ التَّقْصِيرُ الْخِلَافُ فِي الْحَجِّ , وَفِي الْفُصُولِ : السَّعْيُ فِيهَا رُكْنٌ , بِخِلَافِ الْحَجِّ ; لِأَنَّهَا أَحَدُ النِّسْكَيْنِ , فَلَا يَتِمُّ إلَّا بِرُكْنَيْنِ , كَالْحَجِّ . الفروع ج 3 ص 528

Calon KADES apa calon Jama’ah Haji?

Calon KADES apa calon Jama’ah Haji?
Pak Bruto, seorang tokoh masyarakat yang terhormat dan sangat di hormati. Pada tahun ini beliau akan menunaikan rukun Islam yang ke-lima yakni ibadah haji, dikarenakan tabungan untuk menunaikan ibadah hajinya lebih dari sekedar mencukupi. Namun dalam waktu yang bersamaan ternyata, masyarakat desanya sangat berharap sekali pada beliau untuk berkenan mencalonkan diri jadi Kades (kepala desa). Menurut warga, hanya beliaulah yang cocok, pantas, capable serta memenuhi standar kualifikasi dalam perspektif Syara' untuk memimpin desa mereka jika dibandingkan dengan calon-calon yang lain. Dan untuk meluluskan harapan warga tersebut disamping panggilan untuk memperjuangkan agama, pak Bruto terpaksa menggunakan uang tabungan hajinya untuk keperluan pencalonan tersebut. Kondisi semacam itu menjadikan dilema tersendiri bagi pak Bruto, karena dalam keyakinan beliau, ia tak mungkin untuk mengumpulkan ongkos haji pada tahun-tahun berikutnya.
Pertanyaan
a.    Manakah yang harus di dahulukan bagi pak Bruto, antara menunaikan ibadah haji dan mencalonkan diri sebagai kades ?
b.    Apakah pak Bruto punya tanggungan haji fi dzimmah, bila di kemudian hari ia tak punya biaya lagi, dikarenakan ia sudah pernah istitho'ah?
PP. MUS Sarang Rembang
Jawaban :
a)    Apabila pak Bruto benar2 satu2nya calon yang memenuhi persyaratan untuk menjadi pemimpin sesuai dengan persyaratan yang telah di atur dalam fikih,bukan pendapat pribadi masing2 pendukungnya, dan pencalonannya semata2 demi untuk memperjuangkan agama Islam serta menegakkan keadilan, bukan karena memenuhi ambisi pribadinya, maka dia harus mencalonkan diri meskipun beresiko tidak dapat melaksanakan ibadah haji.
&إعانة الطالبين ج 2 ص 301
(قوله: مع نفقة من يجب إلـخ) الظرف متعلق بوجدان، أو بـمـحذوف صفة للراد وما عطف علـيه، أي وتعتبر الاستطاعة بوجدان الزاد مع وجدان نفقة من تـجب علـيه نفقته. والـمراد بـالنفقة الـمؤنة. ولو عبر بها لكان أولـى، لتشمل الكسوة، والـخدمة والسكنى، وإعفـاف الأب، وثمن دواء، وأجرة طبـيب. والـمراد بـمن تـجب علـيه نفقته الزوجة، والقريب، والـمـملوك الـمـحتاج لـخدمته، وأهل الضرورات من الـمسلـمين ولو من غير أقاربه لـما ذكروه فـي السير من أن دفع ضرورات الـمسلـمين بإطعام جائع، وكسوة عار، ونـحوهما فرض علـى من ملك أكثر من كفـاية سنة. وقد أهمل هذا غالب الناس، حتـى من ينتـمي إلـى الصلاح
 &بغية المسترشدين ص 271
(مسألة: ب): ونحوه ي: شرط القاضي كونه أهلاً للشهادة مجتهداً عارفاً بأحكام الكتاب والسنة والقياس، ولسان العرب لغة ونحواً وصرفاً وبلاغة، وأقوال العلماء، نعم قال ابن الصلاح: اجتماع ذلك كله إنما هو شرط للمجتهد المطلق الذي يفتي في جميع أبواب الفقه، أما مقلد لا يعدو مذهب إمام خاص فليس عليه غير معرفة قواعد إمامه، وليراع فيها ما يراعي المطلق، ولا يجوز له العدول عن نص إمامه، فإن ولى السلطان ولو كافراً أو ذو الشوكة شخصاً غير أهل للقضاء كمقلد جاهل وعبد وامرأة وفاسق لكن مع علمه بفسقه فيما يظهر، قاله ابن حجر وجزم بعدم الفرق نفذت توليته للضرورة إن وافق الصواب، وإن كان ثم مجتهد عدل على المعتمد لئلا تتعطل مصالح العباد، أما لو لم يكن ثم صالح بأن تعذر أو تعسر نفذت تولية المقلد والفاسق قطعاً ولو من غير ذي الشوكة، لكن يتعين تقديم الأمثل فالأمثل، ولا ينعزلان حينئذ بزوال الشوكة اهـ. زاد ب : ويلزم قاضي الضرورة وهو من فقد فيه بعض الشروط بيان مستنده في سائر أحكامه إن لم يمنع موليه من بيانه، ومثله المحكم بالأولى فلا ينفذ قولهما، حكمنا بكذا من غير بيان لضعف ولا يتهما. 
 & تحفة المحتاج في شرح المنهاج  - (ج 42 / ص 424(
ويندب  له القبول و  الطلب  للقضاء حيث أمن على نفسه منه كما هو ظاهر ( إن كان خاملا ) أي : غير مشهور بين الناس بعلم ( يرجو به نشر العلم ) ونفع الناس به ( أو ) كان غير الخامل ( محتاجا إلى الرزق ) من بيت المال على الولاية ، وكذا إن ضاعت حقوق الناس بتولية جاهل ، أو ظالم فقصد بطلبه ، أو قبوله تداركها ( وإلا ) يوجد أحد هذه الأسباب الثلاثة ( فالأولى تركه ) أي : الطلب كالقبول لما فيه من الخطر من غير حاجة وهذا هو سبب امتناع أكثر السلف الصالح منه ( قلت : ويكره ) له الطلب ، والقبول ( على الصحيح والله أعلم ) ؛ لورود نهي مخصوص فيه وعليه حملت الأخبار المحذرة منه كالخبر الحسن { من تولى القضاء فقد ذبح بغير سكين } كناية عن عظيم خطره المؤدي إلى فظيع هلاكه ويصح كونه كناية عن علي رفعته بقيامه في الحق المؤدي إلى إيذاء الناس له بما هو أشد من ذلك الذبح .ويحرم الطلب على جاهل وعالم قصد انتقاما ، أو ارتشاء ، ويكره إن طلبه للمباهاة ، والاستعلاء كذا قيل ، والأوجه أنه حرام بقصد هذين أيضا هذا كله حيث لا قاضي متول ، أو كان المتولي جائرا ، أما صالح متول فيحرم السعي في عزله على كل أحد ولو أفضل ويفسق به الطالب ولا يؤثر بذل مال مع الطلب ممن تعين عليه ، أو ندب له لكن الآخذ ظالم ، فإن لم يتعين ولا ندب حرم عليه بذله ابتداء لا دواما ؛ لئلا يعزل ، ويسن بذله لعزل غير صالح وينفذ العزل ، وإن أثم به العازل ، والتولية ، وإن حرم الطلب ، والقبول  مطلقا خشية الفتنة .
b)     Tidak mempunyai tanggungan haji, karena dianggap belum istitho’ah.
 &حاشية البجيرمي على المنهج ج 1 ص 23
) قَوْلُهُ : اسْتِطَاعَةٌ بِنَفْسِهِ ) وَيُعْتَبَرُ فِي الِاسْتِطَاعَةِ امْتِدَادُهَا مِنْ وَقْتِ خُرُوجِ أَهْلِ بَلَدِهِ لِلْحَجِّ إلَى عَوْدِهِمْ إلَيْهِ فَمَنْ أَعْسَرَ فِي جُزْءٍ مِنْ ذَلِكَ لَمْ يَلْزَمْهُ حَجٌّ فِي تِلْكَ السَّنَةِ وَلَا عِبْرَةَ بِيَسَارِهِ قَبْلَ ذَلِكَ وَلَا بَعْدَهُ ق ل عَلَى الْجَلَالِ وَقَرَّرَهُ ح ف .
 & إعانة الطالبين ج 2 ص 301
(قوله: مع نفقة من يجب إلـخ) الظرف متعلق بوجدان، أو بـمـحذوف صفة للراد وما عطف علـيه، أي وتعتبر الاستطاعة بوجدان الزاد مع وجدان نفقة من تـجب علـيه نفقته. والـمراد بـالنفقة الـمؤنة. ولو عبر بها لكان أولـى، لتشمل الكسوة، والـخدمة والسكنى، وإعفـاف الأب، وثمن دواء، وأجرة طبـيب. والـمراد بـمن تـجب علـيه نفقته الزوجة، والقريب، والـمـملوك الـمـحتاج لـخدمته، وأهل الضرورات من الـمسلـمين ولو من غير أقاربه لـما ذكروه فـي السير من أن دفع ضرورات الـمسلـمين بإطعام جائع، وكسوة عار، ونـحوهما فرض علـى من ملك أكثر من كفـاية سنة. وقد أهمل هذا غالب الناس، حتـى من ينتـمي إلـى الصلاح

Selasa, 20 Februari 2018

FENOMENA RAMYUL JAMARAT



FENOMENA RAMYUL JAMARAT
Deskripsi masalah
Seiring dengan terus bertambahnya jamaah haji dari tahun ke tahun maka mendorong sebagian para jamaah haji memutar otak guna mencari model pelaksanaan ibadah yang dianggapnya mudah dan aman sehingga mereka dapat terhindar dari berdesak-desakan dan berjubelnya para jamaah dalam menjalankan ritualnya, seperti praktek sebagian jamaah yang mendahulukan ramyu al-jamarat setelah nisful lail dan sebelum fajar dalam hari-hari Tasyriq. Namun pada kenyataannya metode pelaksanaan semacam ini mengundang pro dan kontra dalam menyikapinya. Konon sebagian akademisi pesantren menyatakan diperbolehkan, mayoritas yang lain menyatakan tidak diperbolehkan, sehingga menyebabkan banyak para jamaah yang memang dengan latar belakang ilmu agama yang kurang merasa bingung dalam mengikutinya.
Pertanyaan
a.    Sebenarnya adakah qaul yang secara tegas memperbolehkan romyul jamarat saat hari Tasyriq dilaksanakan setelah nisful lail dan sebelum fajar?
Jawaban
Tidak ada
Referensi :
& Al Mughni li Ibni Quddamah juz 3 hal. 476
& Al Inshof lil Mardawi juz 4 hal. 45
& Syarh al Majmu' juz 2 hal. 207-208
& Al Fatawi al Hindiyah juz 1 hal. 232
& I'anah at Tholibin juz 2 hal. 306
& . Al Hawi al Kabir juz. 4 hal.199-200
& Syarh an Nawawi ala al Muslim juz 4 hal. 424
& . Syarh al Majmu' juz 8 hal. 235
المغني لابن قدامة الحنبلي الجزء الثالث صـ 476 للشيخ ابن قدامة الحنبلي –مكتبة دار الباز
فصل : ولا يرمي في أيام التشريق إلا بعد الزوال فإن رمى قبل الزوال أعاد نص عليه وروي ذلك عن ابن عمر وبه قال مالك والثوري والشافعي وإسحاق وأصحاب الرأي وروي عن الحسن وعطاء إلا أن إسحاق وأصحاب الرأي رخصوا في الرمي يوم النفر قبل الزوال ولا ينفر إلا بعد الزوال وعن أحمد مثله ورخص عكرمة في ذلك أيضا وقال طاوس : يرمي قبل الزوال وينفر قبله ولنا أن النبي صلى الله عليه وسلم إنما رمى بعد الزوال ; لقول عائشة : يرمي الجمرة إذا زالت الشمس وقول جابر في صفة حج النبي صلى الله عليه وسلم : رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يرمي الجمرة ضحى يوم النحر ورمى بعد ذلك بعد زوال الشمس وقد قال النبي صلى الله عليه وسلم : (خذوا عني مناسككم) وقال ابن عمر : كنا نتحين إذا زالت الشمس رمينا وأي وقت رمى بعد الزوال أجزأه إلا أن المستحب المبادرة إليها حين الزوال كما قال ابن عمر (وقال ابن عباس إن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يرمي الجمار إذا زالت الشمس قدر ما إذا فرغ من رميه صلى الظهر) رواه ابن ماجه
الإنصاف للمردوي الجزء الرابع صـ 45
قوله (ويرمي الجمرات بها في أيام التشريق بعد الزوال) هذا الصحيح من المذهب وعليه جماهير الأصحاب وقطع به كثير منهم ونص عليه قال ابن الجوزي في المذهب ومسبوك الذهب : إذا رمى في اليومين الأولين من أيام منى قبل الزوال : لم يجزه رواية واحدة فأما في اليوم الأخير : فيجوز في إحدى الروايتين انتهى قال في الفروع : وجوز ابن الجوزي الرمي قبل الزوال وقال في الواضح : ويجوز الرمي بطلوع الشمس إلا ثالث يوم وأطلق في منسكه أيضا : أن له الرمي من أول يوم وأنه يرمي في اليوم الثالث كاليومين قبله ثم ينفر وعنه : يجوز رمي متعجل قبل الزوال وينفر بعده ونقل ابن منصور : إن رمى عند طلوعها متعجلا ثم نفر كأنه لم ير عليه دما وجزم به الزركشي فائدة : آخر وقت رمي كل يوم : المغرب ويستحب الرمي قبل صلاة الظهر بعد الزوال
المجموع الجزء الثاني صـ 207-208
ولا يجوز أن يرمي الجمار في هذه الأيام الثلاثة إلا مرتبا يبدأ بالأولى ثم بالوسطى ثم بجمرة العقبة لأن النبي صلى الله عليه وسلم رمى هكذا وقال (خذوا عني مناسككم) فإن نسي حصاة ولم يعلم من أي الجمار تركها جعلها من الجمرة الأولى ليسقط الفرض بيقين ولا يجوز الرمي في هذه الأيام الثلاثة إلا بعد الزوال لأن عائشة رضي الله عنها قالت (أقام رسول الله صلى الله عليه وسلم أيام التشريق الثلاثة يرمي الجمار الثلاث حين تزول الشمس) .
الفتاوي الهندية الجزء الأول صـ 232
(والكلام في الرمي في مواضع) (الأول) في أوقات الرمي وله أوقات ثلاثة يوم النحر وثلاثة من أيام التشريق أولها يوم النحر ووقت الرمي فيه ثلاثة أنواع مكروه ومسنون ومباح فما بعد طلوع الفجر إلى وقت الطلوع مكروه وما بعد طلوع الشمس إلى زوالها وقت مسنون وما بعد زوال الشمس إلى غروب الشمس وقت مباح والليل وقت مكروه كذا في محيط السرخسي ولو رمى قبل طلوع الفجر لم يصح اتفاقا كذا في البحر الرائق وأما وقت الرمي في اليوم الثاني والثالث فهو ما بعد الزوال إلى طلوع الشمس من الغد حتى لا يجوز الرمي فيهما قبل الزوال إلا أن ما بعد الزوال إلى غروب الشمس وقت مسنون وما بعد الغروب إلى طلوع الفجر وقت مكروه هكذا روي في ظاهر الرواية وأما وقته في اليوم الرابع فعند أبي حنيفة رحمه الله تعالى من طلوع الفجر إلى غروب الشمس إلا أن ما قبل الزوال وقت مكروه وما بعده مسنون كذا في محيط السرخسي
إعانة الطالبين الجزء الثاني صـ 306
قوله بعد انتصاف ليلة النحر متعلق برمي أيضا وهو بيان لوقت جواز رمي جمرة العقبة أما وقت الفضيلة فبعد ارتفاع الشمس قدر رمح وهذا الرمي تحية منى فالأولى أن يبدأ به فيها قبل كل شيء إلا لضرورة أو عذر كزحمة أو انتظار وقت فضيلة لمن تقدم دخوله إليها قبل ارتفاع الشمس قوله سبعا مفعول مطلق لرمي أي رميا سبعا قوله وإلى الجمرات الثلاث معطوف على إلى جمرة العقبة أي ورمي إلى الجمرات الثلاث قوله بعد زوال إلخ متعلق برمي بالنسبة إلى الجمرات أي ويكون الرمي إلى الجمرات الثلاث بعد الزوال فلا يصح الرمي قبل الزوال وهذا بالنسبة لرمي اليوم الحاضر أما بالنسبة لرمي اليوم الغائب فيتدارك في بقية أيام التشريق ولو كان قبل الزوال. واعلم أن لرمي أيام التشريق ثلاثة أوقات فضيلة وهو بعد الزوال ووقت اختيار وهو إلى غروب شمس كل يوم ووقت جواز وهو إلى آخر أيام التشريق.
الحاوي الكبير للماوردي ـ ط الكتب العلمية الجزء الرابع صـ 199-200
فصل فأما وقت النفر الأول في الحج فمن بعد رميه في اليوم الثاني إلى قبل غروب الشمس منه والأولى إذا رمى بعد الزوال أن ينفر قبل صلاة الظهر فهي السنة ويرمي راكبا لأنه يصل رميه بالنفر كما يرمي راكبا يوم النحر لأنه يصل رميه بالإفاضة بالطواف ويرمي في اليوم الأول نازلا لأنه مقيم بمنى وكيف رمى أجزأه وأي وقت نفر قبل غروب الشمس أجزأه وسقط عنه رمي الغد ويكون قد رمى تسعة وأربعين حصاة سبعة في جمرة العقبة يوم النحر وإحدى وعشرين في الجمرات الثلاث يوم الحادي عشر وإحدى وعشرين في الجمرات الثلاث يوم الثاني عشر وذلك أقل ما يرميه الحاج فإن كان معه حصى الجمار في اليوم الثالث فإن شاء ألقاه وإن شاء دفنه فليس في دفنه نسك ولا في إلقائه كراهة فإن لم يتعجل النفر حتى غربت الشمس لزمه المبيت بمنى والرمي من الغد في الجمرات الثلاث بإحدى وعشرين - حصاة ليكمل رميه سبعين حصاة وذلك أكثر ما يرميه الحاج
شرح النووي على مسلم الجزء الرابع صـ 424
2290 - قوله (رمى رسول الله صلى الله عليه وسلم الجمرة يوم النحر ضحى وأما بعد فإذا زالت الشمس)المراد بيوم النحر جمرة العقبة فإنه لا يشرع فيه غيرها بالإجماع . وأما أيام التشريق الثلاثة فيرمي كل يوم منها بعد الزوال وهذا المذكور في جمرة يوم النحر سنة باتفاقهم وعندنا يجوز تقديمه من نصف ليلة النحر وأما أيام التشريق فمذهبنا ومذهب مالك وأحمد وجماهير العلماء أنه لا يجوز الرمي في الأيام الثلاثة إلا بعد الزوال لهذا الحديث الصحيح وقال طاوس وعطاء يجزئه في الأيام الثلاثة قبل الزوال وقال أبو حنيفة وإسحاق بن راهويه يجوز في اليوم الثالث قبل الزوالدليلنا أنه صلى الله عليه وسلم رمى كما ذكرنا وقال صلى الله عليه وسلم " لتأخذوا مناسككم " واعلم أن رمي جمار أيام التشريق يشترط فيه الترتيب وهو أن يبدأ بالجمرة الأولى التي تلي مسجد الخيف ثم الوسطى ثم جمرة العقبة ويستحب أن يقف عقب رمي الأولى عندها مستقبل القبلة زمانا طويلا يدعو ويذكر الله ويقف كذلك عند الثانية ولا يقف عند الثالثة ثبت معنى ذلك في صحيح البخاري من رواية ابن عمر عن النبي صلى الله عليه وسلم . ويستحب هذا في كل يوم من الأيام الثلاثة . والله أعلم
المجموع شرح المهذب الجزء الثامن صـ 235
ولا يجوز أن يرمي الجمار في هذه الايام الثلاثة الا مرتبا يبدأ بالاولى ثم بالوسطى ثم بجمرة العقبة لان النبي صلى الله عليه وسلم رمى هكذا وقال (خذوا عني مناسككم)فان نسي حصاة ولم يعلم من أي الجمار تركها جعلها من الجمرة الاولى ليسقط الفرض بيقين ولا يجوز الرمي في هذه الايام الثلاثة الا بعد الزوال لان عائشة رضي الله عنها قالت (أقام رسول الله صلى الله عليه وسلم أيام التشريق الثلاثة يرمي الجمار الثلاث حين تزول الشمس) فان ترك الرمي في اليوم الثالث سقط الرمي لانه فات أيام الرمي ويجب عليه دم لقوله صلى الله عليه وسلم (من ترك نسكا فعليه دم)
Pertanyaan
b.    Kalau tidak ada, bagaimana solusinya bagi para jamaah haji yang terlanjur melakukannya dan sudah kembali ke tanah air?
Jawaban
Membayar dam dengan diwakilkan kepada orang yang hendak berangkat ke Makkah atau mengikuti pendapat Hanabilah yang memperbolehkan membayar dam di tanah air ketika sulit melaksanakannya di tanah haram.
Referensi :
& Daqoiq Uli an Nuha juz 1 hal. 560
& Syarh Muntaha al Irodat juz 3 hal. 498
دقائق أولي النهى شرح منتهى الإرادات الجزء الأول صـ 560
(والعاجز عن إيصاله) اي ما وجب ذبحه بالحرم (إلى الحرم) بنفسه أو بمن يرسله معه (ينحره حيث قدر ويفرق بمنحره) لقوله تعالى لا يكلف الله نفسا الاوسعها.
شرح منتهى الإرادات الجزء الثالث صـ 498  للشيخ منصور بن يونس بن إدريس البهوتي (المتوفى 1051هـ)
 (والعاجز عن إيصاله) أي ما وجب ذبحه بالحرم (إلى الحرم) بنفسه أو بمن يرسله معه (ينحره حيث قدر ويفرقه بمنحره) لقوله تعالى {لا يكلف الله نفسا إلا وسعها}