Pengertian
‘Aqiqah
Menurut
bahasa ‘Aqiqah artinya : memotong. Asalnya dinamakan ‘Aqiqah, karena dipotongnya leher
binatang dengan penyembelihan itu.
Ada
pula yang mengatakan bahwa ‘aqiqah itu asalnya ialah :
Rambut yang terdapat pada kepala si bayi ketika ia keluar dari rahim ibu,
rambut ini disebut ‘aqiqah, karena ia mesti dicukur.
Adapun
menurut istilah agama, yang dimaksud ‘aqiqah itu ialah
: Sembelihan yang disembelih sehubungan dengan kelahiran seorang anak,
baik laki-laki ataupun perempuan pada hari yang ke tujuh sejak kelahirannya
dengan tujuan semata-mata mencari ridla Allah.
Sejarah
‘aqiqah
Syariat
‘aqiqah, yaitu menyembelih 2 ekor kambing jika anaknya laki-laki, dan seekor
kambing jika anaknya perempuan, telah dikenal dan biasa dilakukan orang sejak
zaman jahiliyah, namun dengan cara yang berbeda dengan
yang dituntunkan oleh Nabi SAW bagi ummat Islam.
Buraidah
berkata :
كُنَّا فِى اْلجَاهِلِيَّةِ اِذَا وُلِدَ ِلاَحَدِنَا غُلاَمٌ ذَبَحَ
شَاةً وَ لَطَخَ رَأْسَهُ بِدَمِهَا، فَلَمَّا جَاءَ اللهُ بِاْلاِسْلاَمِ
كُنَّا نَذْبَحُ شَاةً وَ نَحْلِقُ رَأْسَهُ وَ نَلْطَخُهُ
بزَعْفَرَانٍ. ابو داود 3: 107
Dahulu
kami di masa jahiliyah apabila salah seorang diantara kami mempunyai anak, ia menyembelih kambing dan melumuri kepalanya dengan darah
kambing itu. Maka setelah Allah mendatangkan Islam, kami menyembelih kambing,
mencukur (menggundul) kepala si bayi dan melumurinya dengan minyak
wangi.
[HR. Abu Dawud juz 3, hal. 107]
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: كَانُوْا فِى اْلجَاهِلِيَّةِ اِذَا عَقُّوْا
عَنِ الصَّبِيّ خَضَبُوْا قُطْنَةً بِدَمِ اْلعَقِيْقَةِ. فَاِذَا حَلَقُوْا رَأْسَ
الصَّبِيّ وَضَعُوْهَا عَلَى رَأْسِهِ، فَقَالَ النَّبِيُّ ص: اِجْعَلُوْا مَكَانَ
الدَّمِ خَلُوْقًا. ابن حبان بترتيب ابن بلبان 12: 124
Dari
'Aisyah, ia berkata, "Dahulu orang-orang pada masa jahiliyah apabila mereka
ber’aqiqah untuk seorang bayi, mereka melumuri kapas dengan darah ‘aqiqah, lalu
ketika mencukur rambut si bayi mereka melumurkan pada kepalanya”. Maka Nabi SAW
bersabda, "Gantilah darah itu dengan minyak wangi".
[HR. Ibnu Hibban dengan tartib Ibnu Balban juz 12, hal.
124]
Demikianlah
sejarah syariat ‘aqiqah dalam Islam, dan dari riwayat-riwayat diatas serta
riwayat-riwayat lain, tampak jelas bagaimana sikap agama tercinta ini dalam
menghadapi adat yang sudah biasa berjalan dan berlaku pada masyarakat dan masih
mungkin diluruskan.
Tegasnya, Islam sesuai dengan fungsi diturunkannya yaitu sebagai lambang kasih
sayang serta memimpin ke arah jalan yang serba positif, maka dalam menghadapi
adat-istiadat yang sudah biasa dilaksanakan sekelompok manusia, menempuh tiga
macam cara yaitu :
a. Menghapusnya sama
sekali, bila didalam adat-istiadat itu mengandung unsur-unsur kemusyrikan yang
tidak mungkin diluruskan lagi, maupun hal-hal yang membahayakan keselamatan
manusia itu sendiri; baik dari segi aqidah (rohani) maupun bagi tata
masyarakatnya.
Dalam hal ini Islam tidak dapat mentolerir
atau membiarkannya hidup dan bersemi dalam kehidupan ummatnya, karena sesuai
dengan kenyataan, bahwa petani yang pandai serta bertanggungjawab terhadap
berhasil dan suburnya sang padi, tidak akan membiarkan
hidup alang-alang dan rumput-rumput liar yang ada di sekeliling
padinya.
b. Sedang bila dalam adat-istiadat tersebut
mengandung hal-hal yang bertentangan dengan agama akan
tetapi masih dapat diluruskan, maka Islam datang untuk meluruskannya dan
kemudian berjalan bersama-sama dengan Islam, sebagaimana masalah ‘aqiqah
ini.
c. Adapun adat-istiadat yang tidak mengandung
unsur-unsur kemusyrikan dan kedhaliman serta tidak bertentangan dengan agama,
maka Islam memelihara dan memberi hak hidup baginya untuk berkembang lebih
lanjut dalam masyarakat tersebut tanpa sesuatu
perubahanpun.
Hal-hal
yang disyariatkan sehubungan dengan ‘aqiqah
A.
Yang berhubungan dengan sang anak
1. Disunnatkan untuk memberi nama dan mencukur rambut (menggundul) pada hari ke-7 sejak
hari lahirnya. Misalnya lahir pada hari Ahad, ‘aqiqahnya jatuh
pada hari Sabtu.
2. Bagi anak laki-laki disunnatkan ber’aqiqah
dengan 2 ekor kambing sedang bagi anak perempuan 1 ekor.
3. ‘Aqiqah ini terutama dibebankan kepada orang
tua si anak, tetapi boleh juga dilakukan oleh keluarga yang lain (kakek dan
sebagainya).
4. ‘Aqiqah ini hukumnya sunnah.
Dalil-dalil
Pelaksanaan
عَنْ يُوْسُفَ بْنِ مَاهَكٍ اَنَّهُمْ دَخَلُوْا عَلَى حَفْصَةَ بِنْتِ
عَبْدِ الرَّحْمنِ فَسَأَلُوْهَا عَنِ اْلعَقِيْقَةِ، فَاَخْبَرَتْهُمْ اَنَّ
عَائِشَةَ اَخْبَرَتْهَا اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص اَمَرَهُمْ عَنِ اْلغُلاَمِ
شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ وَ عَنِ اْلجَارِيَةِ شَاةً. الترمذي 3: 35
Dari
Yusuf bin Mahak bahwasanya oang-orang datang kepada Hafshah binti 'Abdur Rahman,
mereka menanyakan kepadanya tentang 'aqiqah. Maka Hafshah
memberitahukan kepada mereka bahwasanya 'Aisyah memberitahu kepadanya bahwa
Rasulullah SAW telah memerintahkan para shahabat (agar menyembelih 'aqiqah) bagi
anak laki-laki 2 ekor kambing yang sebanding dan untuk anak perempuan 1 ekor
kambing.
[HR. Tirmidzi 3 : 35].
عَنْ سَلْمَانَ بْنِ عَامِرٍ الضَّبِيّ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص:
مَعَ اْلغُلاَمِ عَقِيْقَةٌ فَاَهْرِيْقُوْا عَنْهُ دَمًا وَ اَمِيْطُوْا عَنْهُ
اْلاَذَى. الجماعة الا مسلما
Dari
Salman bin ‘Amir Adl-Dlabiy, ia berkata : Rasulullah
SAW bersabda, "Tiap-tiap anak itu ada ‘aqiqahnya. Maka
sembelihlah binatang ‘aqiqah darinya dan buanglah kotoran dari padanya (cukurlah
rambutnya)".
[HR. Jama'ah kecuali Muslim, Nailul Authar 5, hal 149]
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ اَبِيْهِ عَنْ جَدّهِ قَالَ، قَالَ
النَّبِيُّ ص مَنْ اَحَبَّ مِنْكُمْ اَنْ يَنْسُكَ عَنْ وَلَدِهِ فَلْيَفْعَلْ عَنِ
اْلغُلاَمِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ وَ عَنِ اْلجَارِيَةِ شَاةٌ. احمد و ابو داود و النسائى
Dari
'Amr bin Syu'aib dari bapaknya, dari kakeknya berkata, telah bersabda Nabi SAW,
"Barangsiapa berkehendak untuk meng'aqiqahkan anaknya maka kerjakanlah. Untuk anak laki-laki dua ekor kambing yang sebanding dan untuk anak
perempuan satu ekor kambing".
[HR. Ahmad, Abu Dawud dan Nasai, dalam Nailul Authar 5, hal.
152]
قَالَتْ عَائِشَةُ: عَقَّ رَسُوْلُ اللهِ ص عَنِ اْلحَسَنِ وَ
اْلحُسَيْنِ يَوْمَ السَّابِعِ. ابن حبان و الحاكم و البيهقى
Telah
berkata 'Aisyah, "Rasulullah SAW pernah ber’aqiqah bagi Hasan dan Husain pada
hari ke-7 dari kelahirannya".
[HR. Ibnu Hibban, Hakim dan Baihaqi]
Keterangan
:
Hasan
dan Husain adalah cucu Rasulullah SAW
عَنْ سَمُرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: كُلُّ غُلاَمٍ رَهِيْنَةٌ
بِعَقِيْقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَ يُسَمَّى فِيْهِ وَ يُحْلَقُ
رَأْسُهُ. الخمسة و صححه الترمذى، فى نيل الاوطار 5: 149
Dari
Samurah ia berkata : Rasulullah SAW bersabda,
"Tiap-tiap anak tergadai (tergantung) dengan ‘aqiqahnya yang disembelih untuknya
pada hari ke-7, dan di hari itu ia diberi nama serta dicukur rambut
kepalanya".
[HR. Khamsah dan dishahihkan oleh Tirmidzi, dalam Nailul Authar 5:
149]
B.
Yang berhubungan dengan binatang sembelihan
1. Dalam masalah ‘aqiqah, binatang yang boleh
dipergunakan sebagai sembelihan hanyalah kambing, tanpa memandang apakah jantan
atau betina, sebagaimana riwayat di bawah ini
:
عَنْ اُمّ كُرْزٍ اْلكَعْبِيَّةِ اَنَّهَا سَأَلَتْ رَسُوْلَ اللهِ ص
عَنِ اْلعَقِيْقَةِ فَقَالَ: نَعَمْ. عَنِ اْلغُلاَمِ شَاتَانِ وَعَنِ اْلاُنْثَى
وَاحِدَةٌ،لاَ يَضُرُّكُمْ ذُكْرَانًا كُنَّ اَوْ اِنَاثًا. احمد و الترمذى وصححه، فى نيل الاوطار 5: 149
Dari Ummu Kurz Al-Ka'biyah, bahwasanya
ia pernah bertanya kepada Rasulullah SAW tentang
‘aqiqah. Maka sabda beliau SAW, "Ya, untuk anak laki-laki dua
ekor kambing dan untuk anak perempuan satu ekor kambing. Tidak menyusahkanmu baik kambing itu jantan maupun betina". [HR. Ahmad dan Tirmidzi, dan
Tirmidzi menshahihkannya, dalam Nailul Authar 5 :
149]
Dan
kami belum mendapatkan dalil yang lain yang menunjukkan
adanya binatang selain kambing yang dipergunakan sebagai
‘aqiqah.
2. Waktu yang dituntunkan oleh Nabi SAW
berdasarkan dalil yang shahih ialah pada hari ke-7 semenjak kelahiran anak
tersebut. [Lihat dalil riwayat 'Aisyah dan Samurah di
atas]
Hal-hal
yang Perlu diperhatikan :
Dalam
masalah ‘aqiqah ini banyak orang yang melakukannya dengan cara-cara yang tidak
sesuai dengan apa yang dituntunkan oleh Nabi SAW.
Tetapi bila mereka ditanya dalilnya atau tuntunannya, mereka
sendiri tidak dapat mengemukakannya dengan jelas.
Maka
dalam brosur ini kami suguhkan kepada saudara-saudara kaum Muslimin, dalil-dalil
yang biasa dipergunakan sebagai dasar amalan-amalan yang berhubungan dengan
masalah ‘aqiqah, sedang dalil tersebut adalah lemah dan tidak dapat dipergunakan
sebagai hujjah/alasan dalam masalah hukum.
Diantaranya :
1.
Adzan dan Iqamah pada telinga bayi yang baru lahir.
عَنْ اَبِى رَافِعٍ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص اَذَّنَ فِى
اُذُنِ اْلحُسَيْنِ حِيْنَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالصَّلاَةِ. احمد
Dari
Abu Rafi' ia berkata, "Saya pernah melihat Rasulullah
SAW membaca adzan (sebagaimana adzan) shalat, pada telinga Husain ketika
dilahirkan oleh Fathimah".
[HR. Ahmad]
عَنِ اْلحُسَيْنِ بْنِ عَلِيّ بْنِ اَبِى طَالِبٍ قَالَ: قَالَ
النَّبِيُّ ص: مَنْ وُلِدَ لَهُ مَوْلُوْدٌ فَاَذَّنَ فِى اُذُنِهِ اْليُمْنَى وَ
اَقَامَ فِى اْليُسْرَى لَمْ تَضُرَّهُ
اُمُّ الصّبْيَانِ. ابو يعلى
Dari
Husain bin Ali bin Abu Thalib ia berkata : Nabi SAW
pernah bersabda, "Barangsiapa mempunyai anak yang baru dilahirkan, kemudian ia
mensuarakan adzan di telinga yang kanan, dan iqamah pada telinga yang kiri (anak
itu) tidak diganggu oleh Ummush Shibyan (sejenis syetan)".
[HR. Abu Ya'la]
Keterangan
:
Hadits
yang pertama diriwayatkan juga oleh Hakim dan Baihaqi serta diriwayatkan pula
oleh Imam Abu Dawud dan Tirmidzi dengan lafadh yang agak
berbeda.
Hadits itu dishahihkan oleh Imam Tirmidzi. Dan hadits
tersebut diriwayatkan pula oleh Imam Abu Nu'aim dan Ath-Thabrani sebagai berikut :
اَذَّنَ فِى اُذُنِ اْلحَسَنِ وَ اْلحُسَيْنِ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُمَا.ابو نعيم و الطبرانى
Beliau
(Nabi SAW) membaca adzan pada telinga Hasan dan Husain RA.
[HR. Abu Nu'aim dan Thabrani]
Hadits-hadits
tersebut (yang diriwayatkan oleh Ahmad, Hakim, Baihaqi, Abu Dawud dan Imam
Tirmidzi serta Abu Ya'la di atas) kesemuanya meriwayatkan hadits tersebut dari
jalan 'Ashim bin 'Ubaidillah, dan ia telah dituduh dengan keras oleh Imam
Syu'bah sebagai pendusta. Dan Imam Bukhari, Abu Zar'ah dan Abu Hatim berkata
bahwa riwayat itu munkar. Demikian pula menurut Imam Daruquhtni, ia mengatakan
bahwa riwayatnya tidak boleh diterima, sebab ia seorang yang lalai, Ibnu
Khuzaimah berkata : "Saya tidak mau berdalil dengan
riwayatnya karena ingatannya tidak baik".
Adapun
hadits yang kedua, dilemahkan pula oleh Imam Suyuthi dalam kitabnya Al-Jami'ush
Shaghir juz 2 halaman 653, hadits no. 9085.
2.
Tentang ‘aqiqah yang dikerjakan pada selain hari ke-7 yaitu pada hari yang
ke-14, ke-21, setelah tua dan sebagainya, adalah sebagai
berikut:
قَالَ اَبُوْ بُرَيْدَةَ: قَالَ النَّبِيُّ ص : اَلْعَقِيْقَةُ تُذْبَحُ
لِسَبْعٍ وَ ِلاَرْبَعَ عَشْرَةَ وَ ِلاِحْدَى وَ عِشْرِيْنَ. البيهقى و الطبرانى
Telah
berkata Abu Buraidah : Nabi SAW pernah bersabda, "
‘Aqiqah itu disembelih pada hari ke-7, atau ke-14, atau ke-21
nya".
[HR. Baihaqi dan Thabrani]
قَالَ اَنَسٌ: اِنَّ النَّبِيَّ ص عَقَّ عَنْ نَفْسِهِ بَعْدَ
اْلبِعْثَةِ.البيهقى و البزار و محمد بن عبد المالك بن ايمان و الطبرانى و
الخلال
Telah
berkata Anas, "Sesungguhnya Nabi SAW pernah ber’aqiqah untuk dirinya sesudah
beliau menjadi Rasul".
[HR. Baihaqi, Bazzar, Muhammad bin Abdul Malik bin Aiman, Thabrani dan
Khallal]