menubar

MIS BAREGBEG "Membangun karakter bangsa yang inovatif, kreatif, dan kompetitif" - PPDB MIS BAREGBEG Tahun Pelajaran 2024/2025 Menerima Siswa/i Baru dan Pindahan - KLIK UNTUK MENDAFTAR
Tampilkan postingan dengan label Aqidah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Aqidah. Tampilkan semua postingan

Selasa, 19 Juni 2018

Nama sejati Tuhan

Nama sejati Tuhan
Kita sumua membicarakan Tuhan, namun kita gagal untuk membedakan antara kata yang dapat diucapkan dan di tulis denga firman sejati yang tak dapat diucapkan dan tak dapat di tulis.
Nama Alloh, Gusti, Hyang Widi, itu dapat di tulis dan di ucapkan,dan asal usulnya dapat kita telusuri.
Tetapi Nama sejati Tuhan, yaitu yang dimaksud oleh semua orang Suci, telah ada sebelum adanya ciptaan, seluruh alam semesta, termasuk waktu dan ruang, telah diciptakan oleh nama itu, dari nama itu.
“ Segala sesuatu yang kita lihat di dunia ini telah di ciptakan oleh Nama”.
Daya cipta ini telah di sebut oleh para suci Islam menyebutnya (Kalam) Firman kun (Perintah)
Pada mulanya adalah firman. Firman itu bersama-sama dengan Alloh, dan firman itu adalah Alloh, ia pada mulanya bersama-sama dengan Alloh, segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia, tidak ada sesuatu yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan.
Tidak ada bedanya antara sabda itu atau Nama Tuhan dan tuhan sendiri. Tentang nama ini “ antara Nama dan yang dinamakan, tidak ada bedanya. Nama inilah yang dapat melepaskan pikiran dari kesenangan indrawi dan memberikan ke sukacitaan rohani, dan ia mampu membimbing jiwa menuju keselamatan.
Dalam bentuk Sabda (Dalil, Firman) inilah, Tuhan meresap ke dalam seluruh ciptaan. Nama atau sabda itu tidak dapat di temukan di dalam buku-buku maupun ayat suci- mereka hanya mengagungkan Sabda itu. Namun Nama itu sendiri terdapat di dalam diri kita.
Para suci dan wali yang pada zamannya masing masing telah menghayati Tuhan, menerangkan semua pangalaman dan seluk belik jalan Rohani di dalam ayat-ayat suci mereka guna membimbing kita.
Dari mereka, kita dapat mengetahui semua kesulitan pada jalan rohani dan memperoleh gambaran yang jelas tentang tujuannya, namun kita tidak dapat menghayati Tuhan sekedar membaca buku.
Sekedar membaca ayat-ayat suci atau mendengarkan ajaran para. Suci itu masih belum cukup. Kita harus bisa untuk mempraktekkan ajaran itu dan menempuh sendiri jalan itu.

Sifat Allah

Tuhan dengan sifat-sifat-Nya yang tak terbatas dan tak terhingga, di mana kita mempunyai konsepsi, yakni, Dia adalah tanpa sifat-sifat terbatas seperti yang kita berikan kepada-Nya
Menurut hadts :
“Tuhan, Engkau adalah yang pertama tanpa ada sesuatu yang mendahului Engkau, Engkau yang terakhir, tanpa ada sesuatu sesudah Engkau, Engkau adalah yang nyata tanpa ada sesuatu di atas Engkau, Engkau adalah yang tersembunyi tanpa ada sesuatu di bawah Engkau.
Pada hakekatnya sifat Alloh tidak terbatas. Semua sifat Sempurna adalah sifat Allah atau milik Allah. Menurut ajaran Agama Islam sifat-sifat Allah yang terdapat pada diri manusia yang sempurna lahirnya (tidak cacat) jumlahnya ada 41 sifat yaitu :
1. 20 Sifat Wajib
2. 20 sifat yang Mustahil
3. 1 Sifat yang Jaiz (Wewenang-Nya, Sifat kekuasaan Mutlak)
Sifat Wajib :
1. Wujud, artinya: Ada. Sifat ini namanya sifat nafsiah artinya: golongan bentuk atau dzat.
2. Qidam, artinya: Terdahulu (tak ada yang mendahului)
3. Baqo’, artinya: Abadi (tidak rusak dan tidak mati selama-lamanya)
4. Mucholafah lil chawadis, artinya: Berbeda dengan barang baru ialah barang duniawiah.
5. Qiamu bi nafsihi, artinya: Bertahta pribadi (tidak ada yang melantik)
6. Wahdaniah, artinya: Satu (Maha Tunggal).
7. Qodrat artinya : Kuasa (kekuasaannya tidak terbatas)
8. Iradat, artinya: Karsa (tak ada sesuatu kejadian di dunia ini yang bukan atas Karsa Tuhan)
9. Ilmu, artinya: Sumber Ilmu (pengetahuan)
10. Hayyat, artinya: Hidup (tak ada yang menghidupi, sumber hidup)
11. Sama’, artinya: Mendengar (tidak dengan alat)
12.Basor, artinya: Mengetahui (tanpa Alat)
13.Kalam, artinya: Bersabda (tanpa alat)
14. Qodiran, artinya: Yang Maha Kuasa (tidak ada yang memberi kuasa)
15.Muridan, artinya Yang mempunyai karsa
16.Aliman, artinya : Ynag Mempunyai segala macam ilmu.
17.Chajjan, artinya : Ynag Hidup (Sumber Hidup)
18.Sami’an, artinya: Yang Mendengar (baik suara yang terdengar maupun yang tidak)
19.Basiran. Artinya: Mengetahui (baik benda yang terlihat maupun tidak)
20.Mutakallimun, artinya: Yang Bersabda (tidak bersuara tetapi dapat diterima dengan jelas)
Sifat-sifat nomor 2 ~ 6 desebut Sifat Salbiah, artinya mustahil kalu terjadi sebaliknya.
Sifat-sifat nomor 7 ~ 13 disebut Sifat Ma’ani, artinya: yang menempati sifat Nafsiah.
Sifat-sifat nomor 14 ~ 20 disebut Sifat Maknawiyah, artinya yang ditempati sifat Ma’ani. Adapun sifat Mustahil adalah sifat kebalikan daripada 20 sifat wajib diatas.
Sifat Jaiz, Tuhan adalah sifat yang mutlak, artinya: Tuhan tidak terikat pada hokum- hukum dan peraturan-peraturan. Tuhan berwenang berbuat atau bertindak apa saja menurut karsa-Nya.
Tuhan tetap adil dan tetap bijaksana. Selain sifat-sifat tersebut diatas, masih banyak sifat- sifat yang sering didengar oleh masyarakat umum dan juga terdapat dalam Al-Qur’an, ialah : Maha Suci, Maha Murah, Maha Luhur, Maha Mulia dan sebagainya (Surat 76 ayat 25, 30 ~ 31)
Wujud Allah
Allah berfirman
Al-Hadiid (surat 57 ayat 3)
Dialah yang Awal dan yang Akhir, yang zhohir (nyata) dan yang Bathin (tersembunyi) dan dia Maha mengetahui segala sesuatu.
Sesuai dengan sifat-Nya yang pertama ialah Wujud artinya : Ada. Sifat ini namanya sifat Nafsiah, artinya: Golongan bentuk atau Dzat. Adapun Wujud atau Dzat Allah.
Menurut petunjuk (Al-Qur’an)

An-Nuur (Surat 24 ayat 35)

Alloh adalah Cahaya langit dan bumi. Perumpamaan Cahaya-Nya adalah seperti lubang yang dalamnya ada pelita. Pelita itu dalam kaca. Dan kaca itu laksana bintang yang berkilau yang dinyalakan dengan minyak pohon yang diberkati, nyaitu minyak zaitun yang bukan ditimur dan tidak juga di barat. Minyaknya hampir menerangi sekalipun tidak di sentuh api. Cahaya Di Atas Cahaya.


Hakikat Cahaya :

1. Nur (Cahaya) yang sebenarnya itu ialah Allah SWT sendiri 2. Sebutan Cahaya bagi selain Dia hanyalah majaz (kiasan). Tak ada Wujud Sebenarnya.
At-Taghabun (64 ayat 8)
Maka berimanlah kamu kepada Alloh dan Rasul-Nya dan Cahaya (Al-Qur’an) yang telah kami turunkan. Dan Alloh Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
An-Nisa (4 ayat 174)
Hai sekalian manusia ! telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu dan telah kami turunkan kepadamu “CAHAYA” yang terang benderang.

Menurut Pustaka Sasangka Jati :
Tuhan itu satu, tetapi bersifat tiga yang disebut: TRI PURUSA (TIGA SIFAT) yang terdiri dari :

1. SUKMA KAWEKAS (Sukma: Hidup, Kawekas: Tertinggi), Sumber Hidup yang tertinggi. Sumber Hidup. Jadi semua yang hidup asalnya dari Suka Kawekas (dalam agama Islam: Allah Ta’ala) atau Nuurullah. 2. SUKMA SEJATI, ialah merupakan Utusan Tuhan Yang Sejati, utusan yang abadi (dalam agama Islam: Rasul atau Nuur Muhammad). 3. ROH SUCI, merupakan SINAR/CAHAYA percikan dari Tuhan. (Agama Islam: Nuurul Isan)
Karena Roh Suci merupakan percikan Chaya dari Tuhan, maka Tuhan adalah Maha Cahaya, dan kita tidak dapat dipisahkan dengan-Nya. Karena kita berasal dari Tuhan maka kita juga kelak kembali kepda-Nya. (Ina ilahi wa ina ilahi rojium)
Kesimpulan: Apabila kita mempelajari pengertian Tuhan dari berbagai Agama dan Aliran Kepercayaan, amak semuan menyimpulkan bahwa: Tuhan adalah Cahaya diatas Cahaya, Maka Cahaya, Sumber Cahaya, dengan demikian semua agama sepakat dengan pengertian bahwa Wujud Allah adalah Chaya (Nuur).

Al Ambiyaa (Surat 21 ayat 92 ~ 92)
Sesungguhnya (Agama Tauhid) ini adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku.

Dan mereka memecah belah urusan Agama di antara sesamanya. Masing – masing mereka akan kembali kepada Kami.

Pengertian Tentang Allah

Pengertian Tentang Allah
1. Tuhan berada diluar jangkauan Pikiran dan Akal
seluruh alam semesta yang tak terhingga terbentang dihadapan mata kita. Tetapi di balik semuanya itu terdapat kekuatan Maha Gaib yang mendalangi semua “Permainan”
bahkan orang-orang tidak percaya akan kebenaran agama dan mengatakan bahwa manusia tiak dapat mengenal bentuk dan sifat Tuhan, mereka tidak meyangkal bahwa kekuatan yang Maha Gaib itu memang ada.
Tetapi kenyataan itu berada di luar jangkauan pikiran dan indra. Karena itu, ia tentu saja menarik kesimpulan bahwa kenyataan itu tidak di pahammi oleh pikiran dan indra. Detiap kejadian duniawi dapat diterangkan dengan akal, tetapi untuk mencapai alam-alam rohani, akal tidak ada gunanya.
Tuhan tidak dibatasi oleh waktu, Ia Luhur dan mandiri. Seluruh ciptaan menaati perintah- Nya, namun ia bukanlah pelakunya. Ia tak berbentuk. Ia Maha ada dan memelihara segala sesuatu; Ia Pencipta, tak bergerak, Mahakuasa, abadi, penebus dosa, tak terpahamkan, tak terjangkau, tanpa awal, kekal, dan Ia adalah kesadaran murni. Ia abadi, tak terkalahkan, gudang pengetahuan. Ia mandiri, swadaya, Ia lautan kenikmatan dan Ia Maha-ada. Ia merupakan perwujudan Sabda dan Nama-Nya memelihara segala sesuatu.
2. Dimanakah Tuhan itu ?
Orang-orang awam mengira bahwa tuhan bersemayam di balik awan atau di dalam lautan. Jiwa-jiwa yang agung telah menghayati-Nya di dalam hatinya, dan para suci sempurna melihat Dia di mana-mana, di dalam maupun di luar.
Para Suci dan para saleh mengatakan bahwa Ia meresap ke dalam seluruh alam semesta dan bahwa alam semesta hidup di dalama Dia.
Kekuatan itu mahatembus dan ia menggerakkan seluruh Alam Jagad Raya. Dalam ayat-ayat suci, Ia tidak digolongkan ke dalam salh satu bangsa, agama atau masyarakat tertentu. Ia digambarkan sebagai Tuhan seluruh alam semesta. Dikatakan juga bahwa Ia meresap kemana-mana.
Tiada satupun tempat atau benda yang hidup maupun mati yang tidak mengandung sinar- Nya. Alam semesta ini merupakan tubuh-Nya tempat Ia bersemayam. Ia meresapi setiap atom seperti jiwa meresap ke dalam setiap pori tubuh sehingga ia dapat bergerak. Tubuh akan berubah menjadi abu bila jiwa keluar dari padanya.
Dimanakah Tuhan itu? Setelah menciptakan dunia ia tidak berpisah dari padanya, Ia mahakuasa, Ia bersemayam didapam ciptaan dan meresapinya, Ia kekal dan Maha-ada. Kita tidak perlu mencari Dia di hutan belantara. Yang diperlukan ialah mencelikkan mata rohani yang dapat melihat Dia.
Tanpa menghayatinya sendiri, kita tidak dapat memahami fakta itu. Tentu saja kita dapat memahami sesuatu dengan menggunakan contoh.
Kita merupakan partikel-pertikel Tuhan. Hubungan kita dengan Tuhan adalah seperti bagian yang kecil dari dari keseluruhannya. Tidak ada perbedaan antara gelombang dengan lautan. Tidak ada bedanya antara matahari dengan sinarnya. Tuhan tidak pernah meremehkan kita walaupun hanya sesaat. Ia selalu menjaga kita.
Kita tidak pernah berpisah dari Dia. Ia selalu ada di dalam diri kita dan selalu meresapi jiwa raga kita. Menurut beberapa Ayat suci dan pendapat para Alim Ulama serta Guru Murshid, keberadaan Tuhan adalah sebagai berikut :
1. Dan sungguh kami telah mencipkan manusia dan kami mengetahui apa yang dibisikan oleh hatinya.
2. tiada pula orang mengatakan : tengoklah, ada disini, atau ada disana, karena kerajaan Alloh itu ada dalam kamu.
3. apa faedahnya untuk lari ke Hutan naik ke Gunung guna mencari tuhan ? Ia bersemayam di dalam dirimu dan meresap ke dalam seluruh jiwa ragamu, akan tetapi Ia terpisah. Tuhan terdapat di dalam dirimu seperti beyangan yang terdapat dalam cermin. Ia ada dalam lubuk hatimu, di sanalah Ia harus di cari.
4. kita harus melihat dengan mata rohani kita dan mendengar suara-Nya dengan telinga rohani kita. Kita harus menembus tiraiyang gelap itu di dalam dan memandang kemulian-Nya
5. apabila kita melihat kenyataan dengan mata rohanu kita, maka berulah kita menjadi yakin akan kebenaran ajaran para Guru Mushid.
6. suara Tuhan berkumandang dari kubah, tetapi dunia yang sedang tidur tidak mendengarnya, hai khalayak ramai yang masih tetap tuli terhadap panggilan- Nya, pandanglah ke bahagian orang yang telah bangkit rohaninya, yang mendengan Suara Tuhan dan yang telah menggabungkan diri dengan Dia.
7. seorang suci Islam berkata : Tuhan bersemayam di dalam engkau, hai orang bodoh, dan engkau mencari-Nya di dunia luar dari satu tempat ke tempat yang lain. Apabila Tuhan ada di dalam diri kita dan kita mencarinya di tempat yang lain, maka usaha jita akan sia-sia.
8. apapun yang ada di alam semesta ini ada pula di dalam tubuh, dan barang siapa mencarinya di dalam tubuh ini, niscaya ia akan menemukan
Sebelum alam semesta ini tercipta (sebelum ada apa-apa) Dzat yang Maha Esa telah tercipta di Alam Sejati (pusat hidup yang sejati) dalam ke adan tenang tentram dan abadi, jadi keadaan Tuhan tidak ada yang mengadakan (bertahta pribadi berdiri sendiri) tiada permulaan dan tiada akhir, tidak membutuhkan tempat dan waktu serta Maha Esa.
Tuhan dapat di pandang sebagai asal mula kesadaran hidup yang tidak terbatas dan tidak bergerak. Di dalamnya terkandung kemampuan yang tidak terbatas ini dalam bahasa asing di sebut : omnipotent, artinya Maha kuasa.
Sesuai dengan keterangan tersebut, Allah berfirman: “Dimanapun kamu berada, Allah selalu bersama-mu dan Allah mengetahui apa yang kamu perbuat”.
Allah mempunyai tiga sifat : Sukma Kawekas (Nuur Alah), Sukam Sejati (Nuur Muhammad), Roh Suci. Ketiga sifat ini tidak dapat di pisah-pisahkan dan tidak dapat di kurangi.
1. SUKMA KAWEKAS, Artinya: Yang menghidupi, yang membuat hidup, yang menyebabkan kita merasa hidup, atau Sumber Hidup
2. SUKMA SEJATI, Artinya: Yang sebenar-benarnya menghadapi jiwa manusia dan melaksanakan Karsa Sukam Kawekas dengan penuh kebijaksanaan, dapat pula disebut Guru Sejati, Penuntun Sejati, sebab pada hakekatnya yang disebut Sukma Sejati itu adalah Af’aal Tuhan, pakarti Tuhan, aktivitas Tuhan, gerak Tuhan
3. ROH SUCI, Artinya: Sifat yang dihidupi atau yang di beri hidup dan yang diberi kekuasaan dalam melaksanakan Karsa Tuhan. Ahli Sufi mengatakan: Roh yang berada dalam tubuh makhluk yang bersifat hidup disebut Nuur Ilahi (Cahaya Tuhan) atau Roh Kudus.

Tambahan keterangan :

1. SUKMA KAWEKAS, yang bersinar pasif itu dapat dimisalkan sebagai matahari yang bersifat pasif juga (diam, tidak bergerak, memancarkan sinarnya)
2. SUKMA SEJATI, yang bersifat aktif menjalankan Karsa Tuhan, dimisalkan matahari yang juga bersifat akrif memancarkan sinarnya
3. ROH SUCI, atau Nuur Tuhan yang kemudian menjadi jiwa manusia yang sejati, dimisalkan panas sinar matahari yang dirasakan oleh makhluk yang menerima sinar matahari yang dirasakan oleh mahluk yang menerima sinar
Keterangan Secara terperinici :
1. SUKMA KAWEKAS, bersifat Karsa, berarti Dzat yang mempunyai Hidup, atau Sumber Hidup yang belum bergerak (masih statis) disalamnya terkandung Karsa.
2. SUKMA SEJATI, nersifat bijaksana, berarti Dzat yng sesungguhnya memberi hidup yang telah bergerak (dinamis) didalamnya terkandung kebijaksanaan.
3. ROH SUCI, bersifat kuasa, berarti Nuur Ilahi (Nuur Dzatullah) yang bersemayam dalam jasmani manusia, diberi kekuasaan untuk melaksanakan Karsa Sukma Kawekas.

Selasa, 12 Juni 2018

Pak “Hajji” dan Bu “Hajjah”

Pak “Hajji” dan Bu “Hajjah”
Sepulang menunaikan ibadah haji seseorang mestinya mendapatkan lebih dari sekadar panggilan “Pak Haji” atau Bu Hajjah. Yang lebih utama, proses perjalanan tersebut harus menjadi madrasah atau pembelajaran dalam kehidupan sehari-hari sepulang dari Tanah Suci.
Hal tersebut disampaikan Pengasuh Pondok Pesantren Al Hikmah 1 Benda, Sirampog Brebes KH Labib Sodik Suhemi saat mengisi Silaturahmi Jamaah Haji Kabupaten Brebes, di Pendopo Bupati Brebes, Rabu (4/11).
Gelar haji yang diletakan di depan muka nama, sambungnya, sebetulnya adalah pengingat bahwa sang penyandang gelar seorang haji, sehingga bisa mengerem melakukan perbuatan maksiat. “Waduh, aku sudah haji. Masa mau mencuri? Aku sudah haji masa mau korupsi? Demikian mengiang terus dalam kondisi apapun dan di manapun selalu dikoreksi perbuatan yang menyimpang,” kata Kiai Labib.
(Sumber : http://www.nu.or.id/…/sebutan-haji-itu-pengingat-bukan-gela…)
Gelar “haji” tergolong cukup unik. Hanya di Indonesia saja kita menemukan fakta pemberian gelar semacam itu. Mengenai hal ini, arkeolog Islam Nusantara, Agus Sunyoto, menyatakan hal tersebut mulai muncul sejak tahun 1916.
"Kenapa dulu tidak ada Haji Diponegoro, Kiai Haji Mojo, padahal mereka sudah haji? Dulu kiai-kiai enggak ada gelar haji, wong itu ibadah kok. Sejarahnya (gelar “haji”, red) dimulai dari perlawanan umat Islam terhadap kolonial. Setiap ada pemberontakan selalu dipelopori guru thariqah, haji, ulama dari Pesantren, sudah, tiga itu yang jadi 'biang kerok' pemberontakan kompeni, sampai membuat kompeni kewalahan," beber Agus Sunyoto di Pesantren Ats-tsaqafah, Ciganjur, Jakarta. Jumat (24/9)
Penulis buku “Atlas Wali Songo” itu menambahkan, para kolonialis sampai kebingungan karena setiap ada warga pribumi pulang dari tanah suci Mekkah selalu terjadi pemberontakan. "Tidak ada pemberontakan yang tidak melibatkan haji, terutama kiai haji dari pesantren-pesantren itu," tegasnya.
Untuk memudahkan pengawasan, lanjut Wakil Ketua Pengurus Pusat Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) itu, pada tahun 1916 penjajah mengeluarkan keputusan Ordonansi Haji, yaitu setiap orang yang pulang dari haji wajib menggunakan gelar “haji”.
(Sumber : http://www.nu.or.id/…/asal-usul-gelar-ldquohajirdquo-di-ind…)
Lantas, bagaimana sikap fiqih terhadap sebutan tersebut?
Terkait hal tersebut sebenarnya di dalam Al-Qur`an Allah menyebut pelaku haji sebagai Al-Hajj, sebagaimana dalam firman-Nya :
{أَجَعَلْتُمْ سِقَايَةَ الْحَاجِّ وَعِمَارَةَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ كَمَنْ آمَنَ بِاللَّهِ} [التوبة: من الآية ١٩]
Artinya: “Apakah (orang-orang) yang memberi minuman Haji dan mengurus Masjidil haram kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah?”. (QS. Al-Taubah: 19).
Dan mengenai hal tersebut Dr. Abu Zaid, Bakr bin Abdillah mengatakan :
“Kalimat “Haji” pada ayat di atas maknanya adalah kelompok orang yang sedang melaksanakan amal haji. Sementara fenomena kata ini dijadikan sebagai gelar dalam Islam bagi orang yang telah melaksanakan ibadah haji, tidak pernah dikenal di masa generasi terbaik umat Islam”.
Selain hal tersebut, gelar haji itu masuk 'urf (tradisi di masyarakat) yang pernah disampaikan Al-Subki ketika membahas biografi Hassan bin Said al-Haji. Beliau mengatakan :
“Al-Haji ini merupakan Lughat 'Ajam (bahasa selain Arab), untuk mereka yang telah menunaikan ibadah haji. Mereka menyebut orang yang bernah berhaji ke Baitullah Al-Haram dengan Haji”.
Imam Al-Nawawi dalam kitabnya menjelaskan bahwa :
“Boleh menyebut orang yang pernah berangkat haji dengan gelar Haji, meskipun hajinya sudah bertahun-tahun, atau bahkan setelah dia wafat. Dan hal ini tidak makruh. Sementara yang disebutkan dalam riwayat Baihaqi dari Al-Qasim bin Abdurrahman, dari Ibnu Mas’ud, beliau mengatakan: “Janganlah kalian mengatakan ‘Saya Haji’ karena Haji adalah orang yang ihram.” Riwayat ini mauquf dan sanadnya terputus”.
Dengan demikian, menyebut Hajji dan Hajjah terhadap orang yang sudah menunaikan ibadah Haji itu boleh. Sedangkan penyebutan Hajji dan Hajjah terhadap orang yang belum atau tidak melakukan ibadah Haji, itu haram, karena demikian merupakan pembohongan status.
--------------------------------------------------------
معجم المناهي اللفظية ج ١ ص ٢١٩-٢٢٠ المكتبة الشاملة
قال الله تعالى: {أَجَعَلْتُمْ سِقَايَةَ الْحَاجِّ وَعِمَارَةَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ كَمَنْ آمَنَ بِاللَّهِ} [التوبة: من الآية١٩] وكلمة ((الحاج)) في الآية بمعنى جنسهم المتلبسين بأعمال الحج. وأما أن تكون لقباً إسلامياً لكل من حج، فلا يعرف ذلك في خير القرون. إهـ
طبقات الشافعية الكبرى ج ٤ ص ٢٩٩ المكتبة الشاملة
وَأما الحاجي فلغة الْعَجم فِي النِّسْبَة إِلَى من حج يَقُولُونَ للْحَاج إِلَى بَيت الله الْحَرَام حاجي. إهـ
المجموع شرح المهذب ج ٨ ص ٢٨١ المكتبة الشاملة
(فَرْعٌ) يَجُوزُ أَنْ يُقَالَ لِمَنْ حَجَّ حَاجٌّ بَعْدَ تَحَلُّلِهِ وَلَوْ بَعْدَ سِنِينَ وَبَعْدَ وَفَاتِهِ أَيْضًا وَلَا كَرَاهَةَ فِي ذَلِكَ (وَأَمَّا) مَا رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ (لَا يَقُولَنَّ أَحَدُكُمْ إنِّي صَرُورَةٌ فَإِنَّ الْمُسْلِمَ لَيْسَ بِصَرُورَةٍ وَلَا يَقُولَنَّ أَحَدُكُمْ إنِّي حَاجٌّ فَإِنَّ الْحَاجَّ هُوَ الْمُحْرِمُ) فَهُوَ مَوْقُوفٌ مُنْقَطِعٌ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ.
وَالْمَسْأَلَةُ تَتَخَرَّجُ عَلَى أَنَّ بَقَاءَ وَجْهِ الِاشْتِقَاقِ شرط لصدق المشتق منه ام لَا وَفِيهِ خِلَافٌ مَشْهُورٌ لِلْأُصُولِيِّينَ (الْأَصَحُّ) أَنَّهُ شَرْطٌ وَهُوَ مَذْهَبُ أَصْحَابِنَا فَلَا يُقَالُ لِمَنْ ضَرَبَ بَعْدَ انْقِضَاءِ الضَّرْبِ ضَارِبٌ وَلَا لِمَنْ حَجَّ بَعْدَ انْقِضَائِهِ حَاجٌّ إلَّا مَجَازًا (وَمِنْهُمْ) مَنْ يُقَالُ لَهُ ضَارِبٌ وَحَاجٌّ حَقِيقَةً وَهَذَا الْخِلَافُ فِي أَنَّهُ حَقِيقَةٌ أَمْ مَجَازٌ كَمَا ذَكَرْنَا (وَأَمَّا) جَوَازُ الْإِطْلَاقِ فَلَا خِلَافَ فِيهِ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ. إهـ
حاشية الشبراملسي على نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج ج ٣ ص ٢٤٢ المكتبة الشاملة
[فَرْعٌ اسْتِطْرَادِيٌّ] وَقَعَ السُّؤَالُ عَمَّا يَقَعُ كَثِيرًا فِي مُخَاطَبَاتِ النَّاسِ بَعْضِهِمْ لِبَعْضٍ مِنْ قَوْلِهِمْ لِمَنْ لَمْ يَحُجَّ يَا حَاجَّ فُلَانٍ تَعْظِيمًا لَهُ هَلْ هُوَ حَرَامٌ أَوْ لَا؟ وَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّ الظَّاهِرَ الْحُرْمَةُ لِأَنَّهُ كَذَبَ، إنَّ مَعْنَى يَا حَاجُّ: يَامَنَ أَتَى بِالنُّسُكِ عَلَى الْوَجْهِ الْمَخْصُوصِ. نَعَمْ إنْ أَرَادَ بِيَا حَاجُّ الْمَعْنَى اللُّغَوِيَّ وَقَصَدَ بِهِ مَعْنًى صَحِيحًا، كَأَنْ أَرَادَ بِيَا حَاجُّ يَا قَاصِدَ التَّوَجُّهِ إلَى كَذَا كَالْجَمَاعَةِ أَوْ غَيْرِهَا فَلَا حُرْمَةَ. إهـ
فتاوى الشبكة الإسلامية ج ٩ ص ٨٤٤ المكتبة الشاملة
فتلقيب الإنسان بما يحب مستحب شرعاً، أما بما يكره فمعصية، قال النووي رحمه الله تعالى في المجموع: اتفق العلماء على تحريم تلقيب الإنسان بما يكره سواء كان صفة له أو لأبيه أو لأمه، واتفقوا على جواز ذكره بذلك على جهة التعريف لمن لا يعرفه إلا بذلك، واتفقوا على استحباب اللقب الذي يحبه صاحبه، فمن ذلك أبو بكر الصديق اسمه عبد الله بن عثمان ولقبه عتيق، ومن ذلك أبو تراب لقب لعلي بن أبي طالب. انتهى.
ومن هذا يتبين جواز تلقيب من حج بالحاج إذا لم يخش منه عجب أو رياء. والله أعلم. إهـ

 https://web.facebook.com/groups/MTTM1/permalink/2054488434764706/

Status Mahar Ijazah Wirid

DESKRIPSI MASALAH
Dalam pengijazahan do'a/wiridan atau ada yang membahasakan penurunan ilmu hikmah (contoh: ijazah semar mesem, tahan bacok, penglaris dagangan, asma' arto, kewibawaan dan lain-lain) sering kita mendengar istilah mahar ijazah dengan nilai yang variatif mulai ribuan hingga jutaan rupiah. Dan sebagian keterangan dari panitia mengatakan bahwa mahar tersebut adalah sebagai ganti dari ijazah yang diberikan. Namun kenyataan tak jarang penerima ijazah merasa kecewa ketika ternyata ijazah yang ia amalkan tidak membuat hasil (semisal jaduk). Sehingga ada yang menuntut uangnya kembali karena ijazahnya dianggap tidak manjur.

Pertanyaan
a. Menurut pandangan fiqih apakah status mahar dan apa hukum meminta mahar ijazah?
b. Apakah diperbolehkan meminta dan menggunakan ijazah seperti penglaris dagang, asma' arto, kewibawaan dll?
c. Apakah dibenarkan perkataan dari panitia bahwa sebenarnya mahar ijazah sebagai ganti dari ijazah yang diberikan?
PP HY Lirboyo Kota Kediri

Jawaban
a. Statusnya adalah iwadl dari ijaroh ketika mujiznya hadziq atau berstatus hadiah atau hibbah jika tidak hadziq. Sedangkan hukum meminta mahar boleh apabila atas nama iwadl dari mujiz hadziq dan makruh jika sebaliknya.
Referensi

1.
إحياء علوم الدين الجزء الثانى صـ: 135
ويقرب من هذا أخذ الطبيب العوض على كلمة واحدة ينبه بها على دواء ينفرد بمعرفته كواحد ينفرد بالعلم بنبت يقلع البواسير أو غيره فلا يذكره إلا بعوض فإن عمله بالتلفظ به غير متقوم كحبة من سمسم فلا يجوز أخذ العوض عليه ولا على علمه إذ ليس ينتقل علمه على غيره وإنما يحصل لغيره مثل علمه ويبقى هو عالماً به ودون هذا: الحاذق في الصناعة كالصيقلي مثلاً الذي يزيل اعوجاج السيف أو المرآة بدقة واحدة لحسن معرفته بموضع الخلل ولحذقه بإصابته فقد يزيد بدقة واحدة مال كثير في قيمة السيف والمرآة فهذا لا أرى بأساً بأخذ الأجرة عليه لأن مثل هذه الصناعات يتعب الرجل في تعلمها ليكتسب ويخفف عن نفسه كثرة العمل
2.
اعانة الطالبين الجزء الثالث صـ: 110
(
قوله: فلا تصح اكتراء بياع) أي دلال وقوله بمحض كلمة انظر ما فائدة زيادة لفظ محض ؟ وفي المنهاج إسقاطه وهو أولى قال في فتح الجواد والفعل الذي لا تعب فيه كالكلمة التي لا تعب فيها نعم في الاحياء يجوز أخذ الاجرة على ضربة من ماهر يصلح بها اعوجاج سيف أي وإن لم يكن فيها مشقة لان من شأن هذه الصنائع أن يتعب في تحصيلها بالاموال وغيرها بخلاف الاقوال
3.
شرح الياقوت النفيس الجزء الثانى صـ: 199-200
أول شروط المنفعة كونها متقومة أي ذات قية أما إذا كانت ليست ذات قيمة فلا يصح عليها ومثلنا في أول الدرس باستئجار التفاحة أو ليمونة للشم وكلمة الدلال وإن روجت السلعة وهذه عند الإمام الشافعي لا يستحق عليها أجرة لكن بعض المذهب ولعله مذهب أبي حنيفة يقول بجواز الإجارة على كل عين منها منفعة وإن صغرت والإمام الشافعي كأنه يرى فيما صغرت فائدته أن استئجاره اتلاف مال بدون مقابل يذكر وعنده أيضا لايجوز أخذ الأجرة على تلقين عقد النكاح
4.
الفتاوى الفقهية الكبرى الجزء الثالث صـ: 149
(
وسئل) فسح الله سبحانه وتعالى في قبره بما صورته في الإحياء لا يجوز أخذ عوض على كلمة يقولها طبيب على دواء ينفرد بمعرفته إذ لا مشقة عليه في التلفظ وعمله به لا ينتقل إلى غيره فليس مما يقابل بعوض بخلاف ما لو عرف الصقيل الماهر إزالة اعوجاج السيف والمرآة بضربة واحدة فله أخذ العوض عليها وإن كثر لأن هذه الصناعات يتعب في تعليمها لتكتسب ويخفف عن نفسه كثرة التعب ا هـ. فهل هو المعتمد أم المعتمد ما أفتى به البغوي من أن الاستئجار لا يصح وهل الفصد ونحوه كذلك أو لا ؟ (فأجاب) بقوله الأوجه ما قاله الغزالي كما اعتمده الأذرعي وغيره ويؤيده تصريحهم بصحة الاستئجار للفصد ونحوه مع أنه عمل لا يتعب قال الأذرعي واسأل عن الفرق بين هذا وبين استئجار البياع على كلمة لا تتعب ا هـ ويؤخذ من كلام الغزالي السابق الفرق بينهما وحاصله أن علة البطلان مركبة من عدم المشقة وعدم انتقال العلم للغير وعدم التعب في تعلمها لتكتسب ويخفف عن النفس كثرة التعب وهذا موجود في كلمة البياع وكلمة الطبيب أما الأول فواضح وأما الثاني فلأن المقول له تلك الكلمة لا ينتقل إليه علمها وأيضا فليس من شأن علم الطب أن يتعب في تحصيله ليخفف عن النفس كثرة التعب بل لتتحلى النفس بكمال العلوم أو بعضها بخلاف كلمة الماهر فإن علمها ينتقل إلى من عرفه إياها لأنه لا يذكرها إلا لمن شاركه في صنعته لكن خفيت عليه هذه الدقيقة وأيضا فمن شأنها ونحوها التعب في تحصيله للتخفيف المذكور وبتأمل ذلك يتضح الفرق بين القصد وكلمة البياع ونحوها من الرد على من غلط فيها لا يقال تعلم القرآن يتعب في تحصيله أيضا لأنا نقول مثل هذه الكلمة لا يتعب في تحصيلها أو يتعب لا للتخفيف المذكور بل لما مر .
5.
حاشية الصاوي الجزء الرابع ص:84
(
كل ما جاز فيه الجعل) كحفر بئر بموات وبيع ثوب أو شرائه وحمل خشبة لمكان أو حمل شيء بسفينة واقتضاء دين ونحو ذلك (جازت فيه الإجارة) بشرطها (ولا عكس) أي ليس ما جازت فيه الإجارة تجوز فيه الجعالة كخياطة ثوب وخدمة شهر وبيع سلع كثيرة وحفر بئر يملك وسكنى بيت فالإجارة أعم باعتبار المحل وقيل بل بينهما العموم الوجهي لانفراد الجعالة فيما جهل حاله ومكانه كالآبق وأجيب بأن ما جهل تجوز فيه الإجارة بشرط العلم واستبعد فتدبر
قوله (بشرطها) أي بشروطها فهو مفرد مضاف فيعم قوله (كخياطة ثوب) إلخ أي فلا يصح في العقد على تلك المسائل أن يكون جعالة لأنه إذا لم يحصل تمام انتفع رب الشيء وضاع عمل العامل هدرا في الجميع وهو من أكل أموال الناس بالباطل قوله (وبيع سلع كثيرة) كلام الشارح يوهم جواز الجعل على بيع السلع القليلة والحق أنه لا فرق بين القليلة والكثيرة في أنه متى انتفع الجاعل بالبعض بأن دخلا على أن العامل لا يستحق شيئا إلا بالتمام منع الجعل كانت السلع قليلة أو كثيرة كما قال ابن رشد في المقدمات كذا في (بن) قوله (باعتبار المحل) أي الذي تعلقا به وأما باعتبار حقيقتهما ومفهومهما فمتباينان قوله (وقيل) قائله الأجهوري قوله (واستبعد) أي بأن هذا التوجيه لا يتم لأن الجعالة لم تنفرد عن الإجارة بمحل وما جهل حاله ومكانه كما يصح فيه الجعل تصح فيه الإجارة كأن يؤاجره على التفتيش على عبده الآبق كل يوم بكذا أتى به أم لا والحاصل أن العقد على الآبق إن كان على الإتيان به وأنه لا يستحق الأجرة إلا بالتمام فهو جعالة وإن كان على التفتيش عليه كل يوم بكذا أتى به أم لا فهو إجارة فالحق ما في المدونة من أن بينهما عموما وخصوصا مطلقا وأن الإجارة أعم

b. Meminta dan menggunakan ijazah seperti penglaris dagang, asma' arto, kewibawaan dll diperbolehkan apabila memenuhi kriteria sebagai berikut ;
 Pelaku adalah seseorang yang taat syariat yaitu (mutasyarri’)Ä
 Tidak timbul dloror atau ekses lain yang dilarang syariat.Ä
 Bertujuan baikÄ
 Faham artinya untuk mantra yang berbahasa 'ajami serta kemujarabannya sudah teruji.Ä
 Diambilkan dari kitab-kitab yang terpercaya.Ä
 Meng-i'tiqad-kan bahwa mu'atsir-nya adalah Alloh SWT.Ä
c. Tidak menutup kemungkinan bisa dibenarkan.
Referensi

1.
الرقية الشرعية ص: 196-197
وقد اجمع العلماء على جواز الرقي عند اجتماع ثلاثة شروط أن يكون بكلام الله تعالى أو بأسمائه وصفاته وباللسان العربي أو بما يعرف معناه من غيره وأن يعتقد أن الرقية لا تؤثر بذاتها بل بذات الله تعالى واختلفوا في كونها شرطا والراجح أنه لا بد من اعتبار الشروط المذكورة ففي صحيح مسلم من حديث عوف بن مالك قال كنا نرقي في الجاهلية فقلنا يا رسول الله كيف ترى في ذلك ؟ فقال اعرضوا علي رقاكم ولا بأس بالرقي ما لم يكن فيه شرك وله من حديث جابر  عن الرقي فجاء آل عمرو بن حزم فقالوا يا رسول الله إنهeنهى رسول الله  كانت عندنا رقية نرقي بها من العقرب قال فعرضوا عليه فقال ما أرى بأسا من استطع أن ينفع أخاه فلينفعه
2. 
الموسوعة الفقهية الجزء الحادي عشر ص : 124
(
التداوي بالرقى والتمائم) أجمع الفقهاء على جواز التداوي بالرقى عند اجتماع ثلاثة شروط : أن يكون بكلام الله تعالى أو بأسمائه وصفاته وباللسان العربي أو بما يعرف معناه من غيره وأن يعتقد أن الرقية لا تؤثر بذاتها بل بإذن الله تعالى فعن عوف بن مالك رضي الله عنه قال كنا نرقي في الجاهلية فقلنا يا رسول الله كيف ترى في ذلك ؟ فقال اعرضوا علي رقاكم لا بأس بالرقى ما لم يكن فيه شرك وما لا يعقل معناه لا يؤمن أن يؤدي إلى الشرك فيمنع احتياطا وقال قوم لا تجوز الرقية إلا من العين واللدغة لحديث عمران بن حصين رضي الله عنه لا رقية إلا من عين أو حمة وأجيب بأن معنى الحصر فيه أنهما أصل كل ما يحتاج إلى الرقية وقيل المراد بالحصر معنى الأفضل أو لا رقية أنفع كما قيل لا سيف إلا ذو الفقار وقال قوم المنهي عنه من الرقى ما يكون قبل وقوع البلاء والمأذون فيه ما كان بعد وقوعه ذكره ابن عبد البر والبيهقي وغيرهما لحديث ابن مسعود رضي الله عنه مرفوعا "إن الرقى والتمائم والتولة شرك" وأجيب بأنه إنما كان ذلك من الشرك لأنهم أرادوا دفع المضار وجلب المنافع من عند غير الله ولا يدخل في ذلك ما كان بأسماء الله وكلامه وقد ثبت في الأحاديث استعمال ذلك قبل وقوعه كحديث عائشة رضي الله عنها "أن  كان إذا أوى إلى فراشه نفث في كفيه ب قل هو الله أحد وبالمعوذتينeالنبي   كان يعوذeثم يمسح بهما وجهه" وحديث ابن عباس رضي الله عنهما "أن النبي  الحسن والحسين بكلمات الله التامة من كل شيطان وهامة" قال الربيع : سألت الشافعي عن الرقية فقال : لا بأس أن يرقي بكتاب الله وما يعرف من ذكر الله قلت : أيرقي أهل الكتاب المسلمين ؟ قال : نعم إذا رقوا بما يعرف من كتاب الله وبذكر الله
3.
الفواكه الدواني الجزء الثاني ص: 370 دار الفكر
(
و) لا بأس ب (الرقى) جمع رقية (بكتاب الله) ولو آية منه قال تعالى "وننزل من القرآن ما هو شفاء ورحمة للمؤمنين" ويرقى بالفاتحة وآخر ما يرقى به منها وإياك نستعين ومما يرقى به كثيرا آيات الشفاء الست وقد قال بعض الشيوخ ممن عرف بالبركة من كتب الله لطيف بعباده ست عشرة مرة في إناء نظيف وقرأ عليها آيات الشفاء ومحاه بماء النيل وسقاه لمن به مرض مثقل فإن قدر له الحياة شفاه الله بأسرع وقت وإن قدر له الموت سكن ألمه وهو عليه الموت وقد جرب مرات كثيرة فصح وآيات الشفاء ست الأولى "ويشف صدور قوم مؤمنين" الثانية "وشفاء لما في الصدور" الثالثة "يخرج من بطونها شراب مختلف ألوانه فيه شفاء للناس" الرابعة "وننزل من القرآن ما هو شفاء ورحمة للمؤمنين" الخامسة "وإذا مرضت فهو يشفين" السادسة "قل هو للذين آمنوا هدى وشفاء" (و) لا بأس أيضا الرقية (بالكلام الطيب) من غير القرآن حيث كان عربيا ومفهوم المعنى كالمشتمل على ذكر الله ورسوله أو بعض الصالحين ولعل هذا هو المراد بالطب لا الحلال لعدم مناسبة المقام وأما ما لا يفهم معناه فلا تجوز الرقية به لأن الإمام لما سئل عن الأسماء العجمية قال وما يدريك أنها كفر ؟ ومقتضى ذلك أن ما جهل معناه لا يجوز الرقية به ولو جرب وصح وكان الإمام ابن عرفة يقول إن تكرر النفع به تجوز الرقية به ولا شك أن تحقق النفع به لا يكون كفرا ومن ذلك ما يعمل لحل المربوط ولتسكين عقل المصروع وإخراج الجان أو إزالة النزيف ولو حديدا كخاتم سليمان يكتب عليه بعض أسماء وتحمل كراهة مالك على ما لم يتحقق النفع به ويجوز أخذ العوض على الرقية كما في قضية الرهط المشهورة في  اهـyباب الجعل حين لدغ كبيرهم ورقاه بعض أصحاب الرسول
4.
الدسوقي على شرح الكبير الجزء الرابع ص: 302
(
وسحر) عرّفه ابن العربي بأنه كلام يعظم به غير الله وينسب إليه المقادير  إن تعلم السحر وتعليمهtوالكائنات ذكره في التوضيح وعلى هذا فقول الإمام  كفر وإن لم يعمل به ظاهر في الغاية إذ تعظيم الشياطين ونسبة الكائنات إليها لا يستطيع عاقل يؤمن بالله أن يقول فيه أنه ليس بكفر وأما إبطاله فإن كان بسحر مثله فكذلك وإلا فلا ويجوز الاستئجار على إبطاله حينئذ والسحر يقع به تغيير أحوال وصفات وقلب حقائق فإن وقع ما ذكر بآيات قرآنية أو أسماء إلهية فظاهر أن ذلك ليس بكفر لكنه يحرم إن أدى إلى عداوة أو ضرر في نفس أو مال وفيه الأدب وإذا حكم بكفر الساحر فإن كان متجاهرا به قتل وماله فيء ما لم يتب وإن كان يسره قتل مطلقا كالزنديق كما يأتي اهـ
5.
فتاوى للإمام العز ابن عبد السلام ص : 168-169
مسألة فيمن يكتب حروفا مجهولة المعنى للأمراض فتنجح ويشفى بها هل يجوز كتبها ام لا ؟ وفى الرجل يجد اسما معظما ملقى فى الطريق ما الأولى ان يفعل به هل يفرق حروفه ويكفيه ؟ اويغسله اويجعله فى حائط ؟-الى ان قال-الجواب اذا جهل معناها فالظاهر انه لايجوز ان يسترقى بها ولايرقى بها فان رسول  لما سئل عن الرقى قال اعرضوا على رقياكم فلما عرضوها قال لا أرىeالله  بأسا من استطع منكم ان ينفع اخاه فليفعل وانما امر بعرضها لان من الرقى ما يكون كفرا وغسل الورق المذكور اولى من تقطيعه ومن جعله فى الجدران لان الباقى فى الجدران معرض لان يؤخذ اويسقط فيستهان به
6.
فتاوى الامام النواوى ص : 200
سئل شهاب الدين ابن حجر الهيتمي رحمه الله تعالى عن كتابة الأسماء التي لا يعرف معناها والتوسل بها هل ذلك مكروه أو حرام ؟ نقل عن الغزالي أنه لا يحل لشخص أن يقدم على أمر حتى يعلم حكم الله فيه فأجاب بقوله الذي أفتى به العز بن عبد السلام كما ذكرته عنه في شرح العباب أن كتب الحروف المجهولة  لما سئل عن الرق قال أعرضواeللأمراض لا يجوز الإسترقاء بها ولا الرق لأنه  عليّ رقاكم فعرضوها فقال لا بأس وإنما لم يأمر بذلك لأن من الرق ما يكون كفرا وإذا حرم كتبها حرم التوسل بها نعم إن وجدناها في كتاب من يؤثق به علما ودينا فإن أمر بكتابها أو قراءتها احتمل القول بالجواز حينئذ لأن أمره بذلك الظاهر أنه لم يصدر منه إلا بعد إحاطته واطلاعه على معناها وأنه لا مخذور في ذلك وإن ذكرها على سبيل الحكاية عن الغير الذي ليس هو كذلك أو ذكرها ولم يأمر بقراءتها ولا تعرض لمعناها فالذي يتجه بقاء التحريم بحاله ومجرد إمام لها لايقتضي أنه عرف معناها فكثيرا من أحوال أرباب هذه التصانيف يذكرون ما وجدوه من غير فحص عن معناه ولا تجربة لمبناه وإنما يذكرونه على جهة أن مستعمله ربما انتفع به ولذلك نجد في ورد الإمام اليافعي أشياء كثيرة منافع وخواص لا يجد مستعملها منها شيئا وإن تزكت أعماله وصفت سريرته .
7. بريقة محمودية الجزء الأول ص : 273
قال المحشي الرقي جائز إن لم يشتمل على ما لا يجوز شرعا كالإقسام بغيره تعالى والألفاظ الغير المفهومة المعاني مثل آهيا وشراهيا أقول إن أخذ مثل هذه الألفاظ ممن يثق به كالغزالي وبعض ثقات الصوفية فالظاهر لا منع حينئذ على حمل اطلاعهم على معناه كما قيل معنى آهيا وشراهيا يا حي يا قيوم كما يقال معنى جبرائيل عبد الله ثم الأمر النبوي آنفا من قوله فليفعل في جواب الرقي لا أقل من الندب وقد اختص بالطب سابقا وأيضا قال في الشرعة ومن السنن أن يستشفى بالذكر والدعاء والقرآن والفاتحة وقد كثرت الأخبار الصحيحة في هذا الباب فحاصل الإشكال إن أريد من الرقي ما اعتقد تأثيره من غيره تعالى أو ما لا يعلم معناه فحرام وإلا فندب أو سنة وقد نفيتم ذلك ونقل عن النووي أن الرقى في حديث الذين يدخلون الجنة بغير حساب ما هي من كلام الكفار والمجهولة المعنى وأما غيرها من الآيات ومفهومة المعاني فسنة ونقل البعض الإجماع على جواز الرقي بها وعن المازري جميع الرقى جائز فيما ذكر وأما رقى أهل الكتاب فجوزها أبو بكر رضي الله تعالى عنه في المناوي عن الموطإ أن أبا بكر قال لليهودية التي كانت ترقي عائشة ارقيها بكتاب الله تعالى وكرهها مالك لعدم الأمن بقي أن الحمل على النسخ إنما يصار إليه عند الضرورة وأما عند إمكان التوفيق كما ذكر فلا.
8.
التهذيب الفروق الجزء لبرابع ص: 189
وقال بعض العلماء إن كان تعلم السحر ليفرق بينه وبين المعجزة كان ذلك قربة وكذلك تقول إذا عمل السحر بأمر مباح ليفرق بين المجتمعين على الزنا أو قطع الطريق بالبغضاء والشحناء أو ليقتل جيش الكفر ومالكهم به أو ليوقع به المحبة بين الزوجين أو بين جيش الإسلام ومالكهم به فهذا كله قربة فتأمل.
1.
بغية المسترشدين صـ: 298
(
مسألة: ي): خوارق العادة على أربعة أقسام: المعجزة المقرونة بدعوى النبوة المعجوز عن معارضتها الحاصلة بغير اكتساب وتعلم والكرامة وهي ما تظهر على يد كامل المتابعة لنبيه من غير تعلم ومباشرة أعمال مخصوصة وتنقسم إلى ما هو إرهاص وهو ما يظهر على يد النبي قبل دعوى النبوّة وما هو معونة وهو ما يظهر على يد المؤمن الذي لم يفسق ولم يغتر به والاستدراج وهو ما يظهر على يد الفاسق المغترّ والسحر وهو ما يحصل بتعلم ومباشرة سبب على يد فاسق أو كافر كالشعوذة وهي خفة اليد بالأعمال وحمل الحيات ولدغها له واللعب بالنار من غير تأثير والطلاسم والتعزيمات المحرمة واستخدام الجان وغير ذلك إذا عرفت ذلك علمت أن ما يتعاطاه الذين يضربون صدورهم بدبوس أو سكين أو يطعنون أعينهم أو يحملون النار أو يأكلونها وينتمون إلى سيدي أحمد الرفاعي أو سيدي أحمد بن علوان أو غيرهما من الأولياء أنهم إن كانوا مستقيمين على الشريعة فائمين بالأوامر تاركين للمناهي عالمين بالفرض العيني من العلم عاملين به لم يتعلموا السبب المحصل لهذا العمل فهو من حيز الكرامة وإلا فهو من حيز السحر إذ الإجماع منعقد على أن الكرامة لا تظهر على يد فاسق وأنها لا تحصل بتعلم أقوال وأعمال وأن ما يظهر على يد الفاسق من الخوارق من السحر المحرّم تعلمه وتعليمه وفعله ويجب زجر فاعله ومدعيه ومتى حكمنا بأنه سحر وضلال حرم التفرج عليه إذ القاعدة أن التفرج على الحرام حرام كدخول محل الصور المحرمة وحرم المال المأخوذ عليه والفرق بين معجزة الأنبياء وكرامة الأولياء وبين نحو السحر أن السحر والطلسمات والسيمياء وجميع هذه الأمور ليس فيها شيء من خوارق العادة بل جرت بترتيب مسببات على أسباب غير أن تلك الأسباب لم تحصل لكثير من الناس بخلاف المعجزة والكرامة فليس لهما سبيل في العادة وإن السحر مختص بمن عمل له حتى إن أهل هذه الحرف إذا طلب منهم الملوك مثلاً صنعتها طلبوا منهم أن يكتب لهم أسماء من يحضر ذلك المجلس فيصنعون ذلك إن سمي لهم فلو حضر آخر لم ير شيئاً وأن قرائن الأحوال المفيدة للعلم القطعي المحتفة بالأنبياء والأولياء من الفضل والشرف وحسن الخلق والصدق والحياء والزهد والفتوّة وترك الرذائل وكمال العلم وصلاح العمل وغيرهما والساحر على الضد من ذلك 

2.
الموسوعة الفقهية الجزء الأول صــ 311
إجازة التعريف 1 - الإجازة في اللغة الإنفاذ يقال أجاز الشيء إذا أنفذه ولا يخرج استعمال الفقهاء للإجازة عن هذا المعنى اللغوي هذا وقد يطلق الفقهاء الإجازة بمعنى الإعطاء كما يطلقونه على الإذن بالإفتاء أو التدريس ويطلق المحدثون وغيرهم الإجازة بمعنى الإذن بالرواية سواء أكانت رواية حديث أم رواية كتاب إلى أن قال الإجازة بمعنى الإذن بالإفتاء أو التدريس 25 - أما الإجازة بمعنى الإفتاء أو التدريس فلا يحل إجازة أحد للإفتاء أو تدريس العلوم الدينية إلا أن يكون عالما بالكتاب والسنة والآثار ووجوه الفقه واجتهاد الرأي عدلا موثوقا به رابعا الإجازة بمعنى الإذن في الرواية - إلى أن قال - أنواع الإجازة بالكتب 28 - وكما جرت العادة برواية الحديث بالإجازة جرت كذلك برواية الكتب وتدريسها بها وهي على أنواع النوع الأول أن يجيز إنسانا معينا في رواية كتاب معين كقوله أجزت لك رواية كتابي الفلاني النوع الثاني أن يجيز لإنسان معين رواية شيء غير معين كقوله أجزت لك رواية جميع مسموعاتي وجمهور الفقهاء والمحدثين على تجويز الرواية بهذين النوعين وعلى وجوب العمل بما روي بهما بشرطه مع العلم أن الخلاف في جواز العمل بالنوع الثاني أكثر بين العلماء النوع الثالث إجازة غير معين رواية شيء معين كقوله أجزت للمسلمين رواية كتابي هذا وهذا النوع مستحدث فإن كان مقيدا بوصف حاضر فهو إلى الجواز أقرب ويقول ابن الصلاح لم نر ولم نسمع عن أحد ممن يقتدى به أنه استعمل هذه الإجازة النوع الرابع الإجازة لغير معين برواية غير معين كأن يقول أجزت لكل من اطلع على أي مؤلف من مؤلفاتي روايته وهذا النوع يراه البعض فاسدا واستظهر عدم الصحة وبذلك أفتى القاضي أبو الطيب الطبري وحكى الجواز عن بعض الحنابلة والمالكية وهناك أنواع أخرى غير هذه ذهب المحققون إلى عدم جواز العمل بها

Senin, 16 April 2018

FOTO ULAMA DALAM KALENDER


FOTO ULAMA DALAM KALENDER

Disetiap tahun Pon. Pes. Darul Falah Tulungsari membuat kalender atau poster yang menyangkut acara-acara rutinan Pon. Pes. Tulungsari yang mana lembaran-lembaran kalender atau poster tersebut tertera foto orang-orang yang kita ta’dhimi  seperti kyai kita serta sebagian Habaib dan orang-orang shalih .
Namun ketika masanya sudah tidak berlaku lagi, sering kita jumpai dari teman-teman santri melakukan beberapa  hal sebagai berikut ;
1.     Membuang kalender tersebut ke tong sampah.
2.     Menggunting-guntingnya sebagai bahan dekor dengan membidik sebagian foto dan mengabaikan yang lain.
3.     Menggunakannya sebagai sampul kitab, baik dalam keadaan terbalik  ( dengan menampilkan bagian yang putih polos )  atau dengan mmenampilkan gambarnya di bagian luar.
Pertanyaan
a.     Apakah foto Ulama dalam kalender termasuk sesuatu yang wajib dimuliakan ( mu’adhom / muhtarom ) ?
b.     Bagaimana hukum melakukan tindakan sebagaimana dalam deskripisi di atas ?
Jawaban
a.     Foto ulama dalam kalender termasuk kategori mu’adhom (  sesuatu yang dimuliakan ) dikarenakan foto tersebut menunjukkan sosok yang harus dihormati sebagaimana nama Ulama menunjukkan sosok Ulama yang mempunyai nama tersebut.
Referensi
ü Tuhfatul Muhtaj 2 hal 177
ü Is’ad al-Rofiq  2 hal 93
ü Hasyiah al-Jamal 1 hal 272 
      تحفة المحتاج في شرح المنهاج (2/ ص 177) المكتبة الشاملة
( تَنْبِيهٌ ) حَمْلُ الْمُعَظَّمِ الْمَكْرُوهِ هَلْ يَشْمَلُ حَمْلَ صَاحِبِهِ لَهُ فَيُكْرَهُ حَمْلُ صَاحِبِهِ لَهُ فِيهِ نَظَرٌ وَلَا يَبْعُدُ الشُّمُولُ وَقَدْ تَشْمَلُهُ عِبَارَتُهُمْ ، فَإِنْ قِيلَ لَوْ كُرِهَ حَمْلُ صَاحِبِهِ لَهُ لَكُرِهَ دُخُولُ صَاحِبِهِ ؛ لِأَنَّ عَظَمَةَ الِاسْمِ هُنَا إنَّمَا هِيَ لِعَظَمَتِهِ قُلْت يُفَرَّقُ بِاحْتِيَاجِ صَاحِبِهِ إلَى الدُّخُولِ بِخِلَافِ اسْمِهِ فَلْيُتَأَمَّلْ -  إلى أن قال - وَعِبَارَةُ الْكُرْدِيِّ وَفِي الْقَلْيُوبِيِّ عَلَى الْمَحَلِّيِّ قَالَ شَيْخُنَا وَكَذَا صُلَحَاءُ الْمُسْلِمِينَ كَالصَّحَابَةِ وَالْأَوْلِيَاءِ أَيْ يُكْرَهُ كَالْمَلَائِكَةِ وَبَحَثَهُ الْحَلَبِيُّ أَيْضًا فِي حَوَاشِي الْمَنْهَجِ ثُمَّ قَالَ وَهَلْ يُكْرَهُ حَمْلُ الِاسْمِ الْمُعَظَّمِ وَلَوْ لِصَاحِبِ ذَلِكَ الِاسْمِ الظَّاهِرُ نَعَمْ انْتَهَى ا هـ . 

      إسعاد الرفيق 2 ص 93 دار إحياء الكتب العربية
ومنها كل كلام يقدح أي يؤدي إلى قدح أي ذم في الدين أو في أحد من المرسلين أو من الأنبياء عليهم الصلاة والسلام أو في أحد من الصحابة والتابعين وتابعيهم أو في أحد من العلماء إذ يجب علينا تعظيمهم والقيام بحقوقهم وقد تقدم أن بعض العلماء كفّر مَنْ صغّر عمامة العالم كأن قال عُمَيْمَةُ فُلاَنٍ ( أو ) في شيئ من ( العلم ) الشرعي أو آلته ( أو ) في شيئ من أحكام ( الشرع ) وذكره مع الدين تأكيد إذ هو بمعناه كما مر أول الكتاب والتفرقة في التسمية بالإعتبار ( أو ) في شيئ من ( القرأن ) العظيم المنزل على سيدنا محمد صلى الله عليه وسلم ( أو ) في ( شيئ ) آخر ( من شعائر الله ) سبحانه وتعالى

      حاشية الجمل (1/ ص 272) المكتبة الشاملة
( وَ ) أَنْ ( يُنَحِّيَ ) عَنْهُ ( مَا عَلَيْهِ مُعَظَّمٌ ) مِنْ قُرْآنٍ أَوْ غَيْرِهِ كَاسْمِ نَبِيٍّ تَعْظِيمًا لَهُ وَحَمْلُهُ مَكْرُوهٌ لَا حَرَامٌ قَالَهُ فِي الرَّوْضَةِ وَتَعْبِيرِي بِذَلِكَ أَعَمُّ وَأَوْلَى مِنْ قَوْلِهِ وَلَا يَحْمِلُ ذِكْرَ اللَّهِ  ( قَوْلُهُ : مَا عَلَيْهِ مُعَظَّمٌ ) لَيْسَ الْمُرَادُ مُطْلَقَ التَّعْظِيمِ بَلْ مَا يَقْتَضِي الْعِصْمَةَ ا هـ شَوْبَرِيٌّ . وَفِي ق ل عَلَى الْمَحَلِّيِّ وَمِنْ الْمُعَظَّمِ أَسْمَاءُ اللَّهِ الْخَاصَّةُ بِهِ ، أَوْ الْمُشْتَرَكَةُ بِقَصْدِهِ وَأَسْمَاءُ الْأَنْبِيَاءِ وَالْمَلَائِكَةِ وَلَوْ عَوَامَّهُمْ قَالَ شَيْخُنَا وَكَذَا أَسْمَاءُ صُلَحَاءِ الْمُؤْمِنِينَ كَالصُّلَحَاءِ ، وَالْأَوْلِيَاءِ فَإِنْ دَخَلَ بِشَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ غَيَّبَهُ فِي نَحْوِ عِمَامَتِهِ وَيَحْرُمُ تَنْجِيسُهُ وَلَوْ فِي غَيْرِ الِاسْتِنْجَاءِ فَرَاجِعْهُ ا هـ .
( قَوْلُهُ : مِنْ قُرْآنٍ ، أَوْ غَيْرِهِ ) سَوَاءٌ كَانَ الْقُرْآنُ مَكْتُوبًا بِالْخَطِّ الْعَرَبِيِّ ، أَوْ بِغَيْرِهِ كَالْهِنْدِيِّ لِأَنَّ ذَوَاتَ الْحُرُوفِ لَيْسَتْ قُرْآنًا ، وَإِنَّمَا هِيَ دَالَّةٌ عَلَيْهِ ا هـ ع ش – إلى أن قال - ( قَوْلُهُ : كَاسْمِ نَبِيٍّ ) أَيْ ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ رَسُولًا وَكَذَا الْمَلَائِكَةُ سَوَاءٌ عَامَّتُهُمْ وَخَاصَّتُهُمْ وَكُلُّ اسْمٍ مُعَظَّمٍ مُخْتَصٍّ ، أَوْ مُشْتَرَكٍ ، وَقُصِدَ بِهِ الْمُعَظَّمُ أَوْ قَامَتْ قَرِينَةٌ قَوِيَّةٌ عَلَى أَنَّهُ الْمُرَادُ بِهِ وَالْأَوْجَهُ أَنَّ الْعِبْرَةَ بِقَصْدِ كَاتِبِهِ لِنَفْسِهِ وَإِلَّا فَالْمَكْتُوبُ لَهُ وَلَوْ تَخَتَّمَ فِي يَسَارِهِ بِمَا عَلَيْهِ مُعَظَّمٌ وَجَبَ نَزْعُهُ عِنْدَ الِاسْتِنْجَاءِ لِحُرْمَةِ تَنْجِيسِهِ كَمَا قَالَهُ الْإِسْنَوِيُّ وَغَيْرُهُ ا هـ شَرْحُ م ر .
Jawaban :
b.     Diperinci :
1.     Hukum membuang kalender ke tempat sampah adalah HARAM, sebab perbuatan tersebut secara ‘urf  ( pandangan umum) merupakan bentuk pelecehan.
2.     Hukum menggunting dengan tujuan tersebut diperbolehkan sebab tidak ada unsur idziro’( melecehkan ) dan bukan termasuk tamziq ( menyobek-nyobek ), kecuali bila pengguntingannya mengesankan pelecehan seperti memotong wajah maka hukumnya HARAM
3.     Hukum menggunakan sebagai sampul kitab terjadi khilaf Ulama ;
a. Menurut Imam Ibnu Hajar hukumnya HARAM, akan tetapi menurut Imam al-Syihab al-Romli jika ada tujuan tabarruk maka hukumnya MAKRUH.
b. Menurut Imam Ibnu Qosim boleh selama tidak ada tujuan
Ø Melecehkan.
Ø Agar yang terkena kotoran adalah sampulnya bukan kitab.

Referensi
ü Is’ad al-Rofiq 1 hal 61
ü Bujairomi ala al-Khotib 12 hal 412
ü Tuhfah al-Muhtaj 2 hal 146
ü Ghuror al-Bahiyyah 1 hal 158
ü Bujairomi ala al-Khotib 1 hal 184
      إسعاد الرفيق 1 ص 61 دار إحياء الكتب العربية
( وحاصل أكثر تلك العبارات )  التي ذكرها ذانك الامامان( يرجع إلى كل عقد ) بفتح أوله وسكون ثانيه أي اعتقاد ( أو فعل أو قول ) موصوف كل واحد منها بكونه ( يدل على إستهانة ) ممن صدر منه  ( او استخفاف بالله ) سبحانه وتعالى ( او ) بشيئ من ( كتبه ) المائة والاربعة المارة ( او) بأحد من ( أنبيائه ) وفي نسخة بخط المؤلف او رسله والاولى أعم ( او ملائكته)  المجمع عليهم كما مر ( أو)  بشيئ من ( شعائره)  حمع شعيرة وهي العلامة اي علامات دينه كالكعبة والمساجد فقوله رحمه الله ( او معالم دينه ) بمعنى الشعائر كما قال السيوطي

      حاشية البجيرمي على الخطيب (12/ ص 412) المكتبة الشاملة
قَوْلُهُ : ( كَإِلْقَاءِ مُصْحَفٍ ) أَوْ نَحْوِهِ مِمَّا فِيهِ شَيْءٌ مِنْ الْقُرْآنِ بَلْ اسْمٌ مُعَظَّمٌ مِنْ الْحَدِيثِ قَالَ الرُّويَانِيُّ : أَوْ مِنْ عِلْمٍ شَرْعِيٍّ وَالْإِلْقَاءُ لَيْسَ بِقَيْدٍ بَلْ الْمَدَارُ عَلَى مُمَاسَّتِهِ بِقَذِرٍ وَلَوْ طَاهِرًا وَالْحَدِيثُ فِي كَلَامِهِ شَامِلٌ لِلضَّعِيفِ وَهُوَ ظَاهِرٌ ؛ لِأَنَّ فِي إلْقَائِهِ اسْتِخْفَافًا بِمَنْ نُسِبَ إلَيْهِ وَخَرَجَ بِالضَّعِيفِ الْمَوْضُوعُ ا هـ .
ع ش وَعِبَارَةُ ق ل كَإِلْقَاءِ مُصْحَفٍ بِالْفِعْلِ أَوْ بِالْعَزْمِ بِهِ وَأَلْحَقَ بِهِ بَعْضُهُمْ وَضْعَ رِجْلِهِ عَلَيْهِ وَنُوزِعَ فِيهِ . قَوْلُهُ : ( بِقَاذُورَةٍ ) أَيْ قَذَرٍ وَلَوْ طَاهِرًا كَبُصَاقٍ وَمُخَاطٍ وَمَنِيٍّ عَلَى وَجْهِ الِاسْتِخْفَافِ لَا لِخَوْفِ أَخْذِ نَحْوِ كَافِرٍ لَهُ وَإِنْ حَرُمَ وَكَإِلْقَاءِ ذَلِكَ عَلَى الْقَذَرِ إلْقَاءُ الْقَذَرِ عَلَيْهِ قَالَ شَيْخُنَا الرَّمْلِيُّ : وَلَا بُدَّ فِي غَيْرِ الْقُرْآنِ مِنْ قَرِينَةٍ تَدُلُّ عَلَى الْإِهَانَةِ وَإِلَّا فَلَا

      تحفة المحتاج في شرح المنهاج (2/ ص 146) المكتبة الشاملة
 وَيَحْرُمُ مَسُّهُ كَكُلِّ اسْمٍ مُعَظَّمٍ بِمُتَنَجِّسٍ بِغَيْرِ مَعْفُوٍّ عَنْهُ وَجَزَمَ بَعْضُهُمْ بِأَنَّهُ لَا فَرْقَ تَعْظِيمًا لَهُ وَوَطْءِ شَيْءٍ نُقِشَ بِهِ وَيُفَرَّقُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ كَرَاهَةِ لُبْسِ مَا كُتِبَ عَلَيْهِ الْمُسْتَلْزِمِ لِجُلُوسِهِ عَلَيْهِ الْمُسَاوِي لِوَطْئِهِ بِأَنَّا لَوْ سَلَّمْنَا هَذَا الِاسْتِلْزَامَ وَالْمُسَاوَاةَ أَمْكَنَنَا أَنْ نَقُولَ : وَطْؤُهُ فِيهِ إهَانَةٌ لَهُ قَصْدًا وَلَا كَذَلِكَ لُبْسُهُ وَيُغْتَفَرُ فِي الشَّيْءِ تَابِعًا مَا لَا يُغْتَفَرُ فِيهِ مَقْصُودًا وَوَضْعِ نَحْوِ دِرْهَمٍ فِي مَكْتُوبِهِ وَجَعْلِهِ وِقَايَةً وَلَوْ لِمَا فِيهِ قُرْآنٌ فِيمَا يَظْهَرُ ثُمَّ رَأَيْت بَعْضَهُمْ بَحَثَ حِلَّ هَذَا وَلَيْسَ كَمَا زَعَمَ وَتَمْزِيقِهِ عَبَثًا ( قَوْلُهُ ثُمَّ رَأَيْت بَعْضَهُمْ بَحَثَ حِلَّ هَذَا ) أَفْتَى بِهِ شَيْخُنَا الشِّهَابُ الرَّمْلِيُّ فَقَالَ يَجُوزُ وَضْعُ كُرَّاسِ الْعِلْمِ فِي وَرَقَةٍ كُتِبَ فِيهَا الْقُرْآنُ انْتَهَى وَظَاهِرٌ أَنَّ مَحَلَّهُ إذَا لَمْ يُقْصَدْ امْتِهَانُهُ أَوْ أَنَّهُ يُصِيبُهَا الْوَسَخُ لَا الْكُرَّاسَ وَإِلَّا حَرُمَ بَلْ قَدْ يَكْفُرُ ا هـ سم عِبَارَةُ النِّهَايَةِ وَلَوْ جَعَلَ نَحْوَ كَرَّاسٍ فِي وِقَايَةٍ مِنْ وَرَقٍ كُتِبَ عَلَيْهَا نَحْوُ الْبَسْمَلَةِ لَمْ يَحْرُمْ كَمَا أَفْتَى بِهِ الْوَالِدُ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى لِعَدَمِ الِامْتِهَانِ وَلَوْ أَخَذَ فَأْلًا مِنْ الْمُصْحَفِ جَازَ مَعَ الْكَرَاهَةِ قَالَ ع ش يَنْبَغِي أَنَّ الْمُرَادَ بِنَحْوِ الْبَسْمَلَةِ مَا يُقْصَدُ بِهِ التَّبَرُّكُ عَادَةً أَمَّا أَوْرَاقُ الْمُصْحَفِ فَيَنْبَغِي حُرْمَةُ جَعْلِهَا وِقَايَةً لِمَا فِيهِ مِنْ الْإِهَانَةِ لَكِنْ فِي سم نَقْلًا عَنْ وَالِدِ الشَّارِحِ جَوَازُهُ فَلْيُحَرَّرْ ا هـ

      الغرر البهية 1 ص 158
ويحرم جعل أوراقه وقاية لغيره نعم لا يحرم الوقاية بورقة مكتوب فيها البسملة ق ل وظاهر أن محله إذ لم يقصد إمتهانه أو أنه يصيبها الوسخ لا ما فيها وإلا حرم بل قد يكفر سم على التحفة إهـ

     حاشية البجيرمي على المنهاج (1/ ص 184) المكتبة الشاملة
( قَوْلُهُ وَمَا عَلَى النَّقْدِ ) يَحْرُمُ وَضْعُ الدَّرَاهِمِ فِي وَرَقِ الْمُصْحَفِ وَجَعْلُهُ وِقَايَةً ، وَلَوْ لِمَا فِيهِ قُرْآنٌ وَبَحَثَ بَعْضُهُمْ حِلَّهُ وَلَيْسَ كَمَا زَعَمَ ا هـ ابْنُ حَجَرٍ وَالْمُعْتَمَدُ الْحِلُّ حَيْثُ لَمْ يَكُنْ فِيهِ إهَانَةٌ

 sumber : https://web.facebook.com/notes/syamsul-muallim/foto-ulama-dalam-kalender/2123094374586814/